Senin, 05 Juli 2010

MISI KRISTEN DALAM PLURALISME AGAMA

MISI DIALOG DALAM PLURALISME


Tema : Allah Itu Baik Bagi Semua Orang

Orang Samaria yang Murah Hati. Lukas 10 : 25 – 37

By. Akerina G

PENDAHULUAN
Memasuki melinium baru ini, terdapat semacam kesadaran penting yang muncul pada masyarakat dunia dan agama-agama, bahwa dunia yang sedemikian majemuknya mesti bersama-sama duduk memikirkan sebuah tatanan dunia baru yang dapat memberi aspirasi terhadap kemanusiaan sejagat atas martabat manusia, harus menjadi agenda penting untuk disuarakan. Pandangan seperti ini bukan tidak beralasan, menggingat sepanjang sejarah peradaban dunia, umat mausia selalu diperhadapkan dengan peristiwa peperagan dan konflik kekerasan yang dilatar belakagi oleh bermacam motif kepentigan, mulai kepentigan politik, eknomi, rasialisme, etnis maupun agama. Perang dan konflik kekerasan ini telah mengorbankan manusia dan telah menghancukan martabat kemanusiaan dan itu telah terjadi berabad-abad lamanya.
Salah satu fariabel penting yang sering ditengarai menyebabkan konflik dan kekerasan adalah agama. Meski agama dalam ajaran normatifnya sarat akan pesan-pesan moral dan cinta kasih,akan tetapi secara empris, etika berintegrasi degan manusia, agama telah dimasuki “virus” ideology, karenanya agama juga dipandang turut bertanggung jawab atas berbaga konflik yang terjadi di bebagai belahan dunia. Ambil contoh perang salib selama lebih dari 200 tahun, konflik sepanjang abat 20 di India, Banglades, dan Indonesia Timur misalnya Poso dan Maluku. Konflik Maluku yang kita alami telah merobohka seluruh dimensi kemanusiaan. Fenomena yang nyata ini mengisyaratkan adanya tantangan nyata bagi pluralisme dunia, sehingga bisa dimengerti betapa adanya kesadaran bersama untuk membangun sebuah etika global bagi kemanusiaan (Hans Kung: 1991) di mana agama menjadi faktor penting dalam rangka penciptaan dunia yang lebih adil dan beradab. Dengan perkataan lain Pluralisme menjadi agenda penting untuk diwacanakan, karena dunia semakin terbuka dengan adanya kemajuan IPTEK (Ilmu dan teknologi) yang menyebabkan perjumpaan umat manusia yang majemuk semakin intens termasuk di dalamnya perjumpaan agama-agama dunia. Harapan kita, pluralisme memberikan sebuah prespektif baru di dalam perjumpaan umat manusia yang majemuk adalah perjumpaan yang bebas dari intrik, kekerasan dan provokasi. Demikian berarti agama-agama juga dituntut untuk mereposisis perannya secara dinamis dan terbuka. Dalam khotbah saat ditabiskan majadi uskup Agung Canterbury pada tahun 1942, Wiliam Tample berbicara tenang keputusan gereja-gereja untuk bersatu sebagai “suatau kenyataan baru” saat ini. Ia seorang pengamat besar. Seandainya Ia masih hidup, saya yakin Ia akan berbicara tentang berbagai kekuatan yang akan mempersatukan agama-agama sebagai “kenyataan baru” yang tidak bisa kita abaikan . Dengan demikian Pluralitas agama sekarang ini telah menjadi suatu keniscayaan dan men-desak agama-agama, termasuk kekristenan untuk menghadapi dan mengubah paradigma teologinya.Semua agama menurut Eka Darmaputera, tidak hanya didesak untuk memikirkan sikap praktis untuk bergaul dengan agama yang lain, tetapi juga didesak untuk memahami secara teologis apakah makna kehadiran agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang lain itu . Mengembangkan teologi agama-agama bukan tanpa kesulitan dan resiko. Tantangan internalnya adalah teologi tradisional (Barat) yang berakar kuat dalam gereja serta resistensi fundamentalisme kristen. Secara eksternal, pluralisme agama dicurigai sebagai misi terselubung kekristenan untuk mempertobatkan yang lain dan sekaligus keengganan mengakui bahwa kebenaran agamanya relatif. Sikap penolakan terang-terangan terhadap pluralisme agama dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) lewat fatwa hasil Munas VII tahun 2005, karena paham ini bertentangan dengan ajaran Islam . Sekalipun muncul kecurigaan, perlawanan dan penolakan terhadap pentingnya pluralisme agama dan dialog bukan berarti sikap demikian disetujui dan menyurutkan tekad mengembangkan pluralisme agama dan dialog. Makalah ini berusaha mendeskripsikan dan menganalisis sejauh mana relasi kekristenan dengan agama-agama lain, khususnya agama Islam. Benarkah gereja telah dan masih bersikap superioritas terhadap agama-agama lain sampai sekarang atau memang dalam tubuh gereja sudah terjadi perubahan sikap mendasar? Bukan tidak mungkin jika ditelisik lebih jauh, dalam kekristenan sendiri tidak terdapat kesatuan dalam menyikapi pluralisme agama. Selanjutnya, bagaimana sebenarnya kekristenan mengatasi kebenaran mutlaknya saat berjumpa dengan agama-agama lain serta mencari titik temu sehingga kehadiran agama-agama bukan sebagai sumber masalah bangsa (problem maker), tetapi sebagai pemberi solusi atas masalah-masalah sosial yang muncul (problem solver)? Lebih jauh lagi, sejauh mana pluralisme agama memberi ruang pada partikularitas atau keunikan dari masing-masing agama dan tujuan-tujuan semacam apakah yang hendak dicapai dalam dialog. Akhirnya pada bagian refleksi, penulis mengutarakan pentingnya pluralism agama dan dialog untuk dikembangkan guna menanggulangi masalah kemanusiaan kontemporer, menghadirkan kedamaian dan sekaligus dapat saling memperkaya kehidupan beriman dalam konteks majemuk Indonesia.

PLURALISME DALAM PANDANGAN KRISTEN
Perjumpaan Kristen dan agama-agama lain di abad ke-20 telah memberi corak penting baru bagaimana Kristen bergaul dengan agama-agama lain. Maka pluralisme juga menjadi tentangan agama Kristen. Kesadaran ini muncul ketika dalam perjumpaan tersebut ternyata telah membuka image baru mengenai kebaradaan agama lain yang di sana terjadi proses saling belajar, salang mengenal dan menghargai. Berbeda dengan beratus tahun sebelumnya ketika masing-masing agama mengisolasi diri dan menganggap agama lain musuh, yang bertumbuh semangat eksklusifisme. Dalam hubungan Islam Kristen asumsi ini nyata. Bahwa kekristenan awal tidak megerti apa-apa tentang Islam. Pandangan yang progresif dengan menyadari akan kepelbagaian ini kemudian merubah sikap eksklusif gereja yang telah memonopoli kebenaran keselamatan. Puncaknya adalah dengan konsili Fatikan kedua, gereja Roma Katolik mengapresiasi pluralisme, penafsiran sempit atas axtra ecclesias nullah salus (di luar gereja tidak ada keselamatan) ditinggalkan, agama-agama lain diterima dan dianggap sebagai bagian dari kehendak Allah yang menjamin keselamatan. Dengan demkian konsili Fatikan II, Katolik telah menumbuhkan sikap yang lebih positif terhadap agama-agama lain. Dikalangan Protesan juga terdapat perubahan paradigma, sejak tahun 1970 DGD (Dewan Gereja Dunia) menganggap sangat penting untuk membangun dialog degan agama-agama lain. Pengajaran agama Kristen Protestan pada tahun 1973 telah mengingatkan untuk tidak menggunakan agama-agama non Kristen sebagai “lembaran kelam” belaka dan menjadikannya sebagai latar belakang gelap untuk cahaya kebenaran Kekristenan yang besinar lebih terang. Jika Kekristenan atau ajaran-ajaran dasar Kristen memerlukan kontras semacam itu, sepertinya kekuatan cahaya agama kristen suda tidak kuat lagi. Dengan demkian muncul pertanyaan, sejauh mana penilaian yang merendahkan agama-agama lainnya tidak berarti sekaligus penilaian yang merendahkan iman Kristen itu sendiri. Kita menemukan spirit inklusivisme itu dalam konsep tentang Kasih yan sedemkian universalnya yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat primodialisme sempit, bahkan mengasihi sampai dengan musuh seklipun. Seperti kisah orang Samaria yang murah hati. Lukas 10:25-37
10:25 Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya: "Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" 10:26 Jawab Yesus kepadanya: "Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?" 10:27 Jawab orang itu: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." 10:28 Kata Yesus kepadanya: "Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup."10:29 Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: "Dan siapakah sesamaku manusia?" 10:30 Jawab Yesus: "Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. 10:31 Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. 10:32 Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. 10:33 Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. 10:34 Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. 10:35 Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali. 10:36 Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?" 10:37 Jawab orang itu: "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya." Kata Yesus kepadanya: "Pergilah, dan perbuatlah demikian!"

Kutipan ini menjadi isyarat bahwa Tuhan tidak pilih kasih atau pun pilih bangsa dan agama, tetapi siapa saja dari bangsa mana saja bisa memperoleh kasi-Nya. Pluralisme menggunakan pendekatan teosentris yang menekankan pada kehendak universalitas Allah untuk menyelamatkan seluruh manusia. Pendekatan pluralisme menurut Knitter berangkat dari keprihatinan utama bagaimana kepelbagaian agama dapat berdialog secara jujur dan terbuka sehingga dapat memberikan sumbangsih penting dalam menanggulangi penderitaan manusia dan kerusakan lingkungan yang akut. Tidak pada tempatnya dalam relasi dengan agama-agama lain mengutarakan bahasa absolutis seperti: hanya satu-satunya, definitif, superior, absolut, final, tak terlampaui dan total untuk menjelaskan kebenaran yang ditemukan dalam Injil Yesus Kristus. Tanpa mengklaim bahwa semua agama itu setara (equal), umat Kristen dengan mentalitas korelasional berpendapat bahwa sejak permulaan semua pihak harus saling mengakui persamaan hak di dalam dialog antar-agama sehingga setiap penganut agama berhak berbicara, atau membuat klaim, dan peserta lain membuka hati dan pikiran terhadap kebenaran baru dari partner dialognya. Di dalam semua agama bagi Knitter terdapat suatu ”kesamaan yang kasar” (rough parity). Maksudnya, bukan berarti semua agama pada dasarnya memberi-takan hal yang sama, tetapi bahwa karena perbedaan mereka dari agama Kristen, agama-agama lain mungkin juga sama efektif dan berhasilnya dalam membawa para penganutnya kepada kebenaran, perdamaian dan kesejahteraan bersama Allah. Dengan kata lain, dengan teologi korelasional umat kristen berpegang pada kemungkinan dan mendorong kemungkinan bahwa Sumber kebenaran dan transformasi yang mereka sebut Allah dalam Yesus Kristus memiliki lebih banyak kebenaran dan bentuk-bentuk transformasi lainnya yang mampu dinyatakan daripada yang telah dinyatakan dalam Yesus. Teologi pluralis atau korelasional tidak hanya mengakui adanya berbagai perbedaan antar-agama yang mencolok bahkan tak terbandingkan, tetapi juga mengakui nilai dan keabsahan dari dunia yang serba berbeda ini. Agama-agama lain bukan hanya sangat berbeda, namun bisa juga sangat bernilai . Secara teologis, umat Kristen mengatakan bahwa mereka percaya kepada suatu Allah yang benar-benar mau menyelamatkan semua orang yaitu Allah dari Yesus Kristus, Allah ”kasih yang murni tanpa terikat”, yang merangkul semua dan menghendaki kehidupan dan keselamatan. Allah merangkul semua manusia yang dikasihiNya di dalam dan melalui tidak hanya persekutuan gerejawi, tetapi juga dalam persekutuan dari penganut agama-agama lain. Umat Kristen bisa dan harus mendekati agama-agama lain bukan hanya dengan harapan bahwa mereka mungkin akan menemukan kebenaran dan kebaikan tetapi bahwa mereka lebih mungkin menemukannya. Dengan demikian teologi pluralistik mendorong agar umat beragama untuk mengkomunikasikan dan membagikan kandungan yang bernilai dari agama mereka. Agama-agama harus berdialog. Kebenaran setiap agama bukan untuk dirinya sendiri dan mengabaikan yang lain, tetapi untuk dipertemukan sehingga terjadi proses belajar yang memperdalam kebenaran masing-masing. Hakikat agama jelasnya relasional dan dialogis. Jadi semua agama perlu berbicara dan bertindak bersama. Perbedaan dalam masing-masing agama tidak menghalangi hubungan antar sesama di antara mereka . Keunikan Yesus (Kis 4:12) seharusnya tidak ditafsirkan secara statis. Masalah keunikan Yesus tetap terbuka terhadap berbagai pemahaman baru. Di sini umat Kristen bisa terus menegaskan dan memberikan kepada dunia tentang Yesus sebagai benar-benar ilahi dan juruselamat, namun mereka tidak perlu bersikeras bahwa Dia satu-satunya ilahi dan juruselamat. ”Benar-benar, namun bukan satu-satunya”, merupakan upaya baru untuk menegaskan pentingnya Yesus dalam dunia kepelbagaian agama. Secara teologis berarti di satu pihak kita memberitakan Yesus sebagai Juruselamat, dan di pihak lain bias terbuka terhadap kemungkinan bahwa ada pribadi lain yang bisa diakui umat Kristen sebagai anak Allah. Kristologi pluralistik semacam ini mengizinkan dan mensyaratkan umat Kristen untuk sepenuhnya percaya kepada Kristus, namun sekaligus bisa terbuka terhadap umat lainnya yang mungkin memiliki berbagai peran yang sama pentingnya. Secara gerejawi, gereja dapat saling memberi dan menerima dalam interaksinya dengan agama-agama lain dengan pesan relevan dan penting . Teologi pluralistik mensyaratkan dialog sebagai elemen penting dalam berhadapan dengan agama-agama lain. Dialog antar-agama bukan bertujuan menciptakan satu agama tunggal dan final, melainkan kepelbagaian yang semakin berkembang dan berarti dalam agama-agama.

KAJIAN TEKS LUKAS 10 : 25 – 37 ORANG SAMARIA YANG MURAH HATI

1. Orang Farisi ( ahli Taurat )
Orang-oran yang berusaha mendalami naskah dan ajaran hukun Taurat samai kepada hal-hal yang sekecil-kecilnya. Ahli taurat dalam PB adalah pnerus rohani mereka dan oleh kalangan luas dari orang-oranr yang beusaha melaksanakan ajaran mereka sampai ke tetek bengeknya. Pada awal abad ke -2 mereka di sebut Khasdim yaitu orang yang di kasihi Allah. Tafsiran lama dari istilah Farisi sebagai yang memisahkan diri. Hubungan mereka dengan masyarakat terasa pahit Nampak dalam Talmut dan tafsira Hkum taurat yang memberatkan, tetapi mereka selalu mementingkan kepentingan umum. tapi daya tarik mereka kepada masyarakat karena mereka berasal dari lapisan menengah ke bawah dan pengrajin yang makmur oleh karena itu mereka mengerti keadaan rakyat umum. Mereka juga sungguh-sungguh membuat hokum Taurat terpikul oleh rakyat. Farisi menekankan keharusan setip orang menggenapi setiap hukum taurat. Orang-orang Farisi muncul dari kalangan kaum Hasidim pada masa Yohanes Hirkanus. Orang-orang Farisi ini adalah ahli-ahli tafsir tradisi mulut ke mulut yang berasal dari para rabi. Pada umumnya mereka berasal dari kalangan menengah, yakni para tukang dan kaum pedagang (contoh, Paulus adalah pembuat tenda). Mereka mempunyai pengaruh yang sangat besar di antara para petani. Yosefus mengamati bahwa pada saat orang-orang Yahudi harus mengambil suatu keputusan yang sangat penting, mereka lebih bersandar pada pendapat orang- orang Farisi ketimbang pada raja ataupun imam besar (Antiquities, Bk. XII, Psl. x Bgn. 5). Karena rakyat sangat mempercayai mereka, orang Farisi diangkat untuk menduduki jabatan jabatan penting dalam pemerintahan, termasuk untuk duduk dalam Sanhedrin (Senat). Menurut perkiraan Yosefus, dalam zaman Tuhan Yesus, di tanah Palestina hanya ada sekitar 6.000 orang Farisi; karena itu mereka sangat memerlukan dukungan rakyat banyak. Kemungkinan itulah sebabnya mereka sangat gentar melihat kemampuan Yesus mengumpulkan orang banyak di sekitar- Nya. Para Farisi mengajarkan bahwa orang yang benar akan mengalami kebangkitan sesudah kematian (Kisah 23:8), sedangkan orang durhaka akan menerima hukuman yang kekal. Tidak banyak kelompok Yahudi yang menerima ajaran itu. Sebaliknya banyak yang mendukung pendapat Yunani dan Persia bahwa setelah mati jiwa dan tubuh berpisah untuk selama-lamanya. Kemungkinan faktor itu juga yang menyebabkan banyak orang datang pada Yesus. Yesus adalah seorang tukang kayu miskin, namun ia sangat ahli dalam menjelaskan hukum Taurat (Matius 7:28, 29); selain itu, Ia juga mengajarkan tentang kebangkitan dan kehidupan sesudah kematian (Lukas 14:14; Yohanes 11:25). Pengajaran Yesus mengenai adat istiadat manusia (Markus 7:1-9), penghormatan kepada orang tua (Markus 7:10-13), dan soal memelihara Sabat (Matius 12:2432), cocok dengan pengajaran orang-orang Farisi. Yesus juga sering berbicara mengenai malaikat-malaikat, setan-setan, dan berbagai macam roh seperti yang digambarkan dalam mistik Yahudi. Ini menarik minat orang banyak.

2. Orang Samaria ( Samaria. Ibu Kota Israel Utara dan Wilayah sekitarnya )
Orang-orang Samaria adalah hasil perkawinan campuran antara orang-orang Yahudi yang tetap tinggal di tanah Palestina dengan orang-orang Asyur yang menaklukkan Israel dan menduduki Tanah Perjanjian itu. Jadi, keberadaan mereka merupakan suatu pelanggaran terhadap Taurat Allah. Mereka beribadah kepada Allah di Bukit Gerizim, di lokasi tempat mereka mempersembahkan binatang kurban dan mendirikan tempat ibadah mereka sendiri. Orang-orang Samaria dipandang rendah oleh orang-orang Yahudi yang kembali dari pembuangan. Mereka disebut sebagai "orang bodoh yang tinggal di Sikhem" (Ekklesiastikus 50:25-26). Pada tahun 128 SM Yohanes Hirkanus menghancurkan tempat ibadah di Bukit Gerizim itu. Sejak saat itu orang-orang Yahudi dan orang-orang Samaria putus hubungan sama sekali (band. Yohanes 4:9). Jatunya Samaria pada 722 sM memulai saman baru dalam kerajaan Utara. Pemindahan penduduk Yahudi ke negeri-negeri lain oleh Sargon, dibarengi pemasukan orang-orang bangan dari wilayah-wilyah lain Kekaisaran Asyus ke Samaria oleh Sargon, Esar-hadon dan Asyurbanipal. Orang-orang Israel yang tinggal di samaria menjadi masyarakat baru, dan walaupun bebagai kultu diperkenalkan , mereka dapat menjamin kelangsngan ibadah kepada YHWH. Hubngan dengan Yehuda sebelum dan sesuah kejathan Yerusalem tetap diperathankan pengakuan percaya Oran samaria mempnyai enam pasal
1. Percaya kepada satu Tuhan
2. Kepada Musa sang Nabi
3. Kepada Hukum
4. Kepada Bukit Gerisim sebagai tempat yang ditetapkan oleh Tuhan (untuk persembahan Kurban ( bandingkan bacaan Samaria dalam Ulangan 27:4)
5. Kepada hari pengadilan dan penganugerahan, dan akan datangnya kembali Musa sebagai Taheb, atau pembaharu (sesuatu yang dekat dengan Mesias)
Kepercayaan mereka akan kebangkitan kurang jelas. Orang Yahudi memandang orang Samaria sebagai sempalan, bukan golongan kafir, dan mempunyai kepercayaan yang sama. Kalau kita melhat pelayanan Yesus tertuju kepada orang Israel, tetapi ketika kebangkitan-Nya Ia memerinahkan murid-murid-Nya memberitakan Injil ke Samaria (Injil Yuhanes). Dan misi ke Samaria dilaksanakan terutama oleh orang-orang Helenis, sesudah Stefanus mati martir

Lukas 10 : 25-28

10:25 Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya: "Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?"
10:26 Jawab Yesus kepadanya: "Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?"
10:27 Jawab orang itu: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."
10:28 Kata Yesus kepadanya: "Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup."
Kisah ini juga terdapat dalam Mrk 12:28-31. Tapi kisah ini jangan dikacaukan dulu dengan pada markus, kita menyadari Injil Markuslah merupakan sumber utama, tapi kita sepakat dan mau melihat dari sudut pandan Lukas, karna ada kitan dengan Markus, dan tidak salah kalau saya sedikit mengkutip Markus. Disini Yesus ditanyakan bagaimana seharusnya seseorang layak memperoleh hidup kekal ( banding Luk 18:18) dan I menjawab secara Yahudidengan mnngatan sipenanya kepada Hukum taurat. Kemudian pertanyaan ini menjaji persoalan yang meringkaskan intisari dan makna Hukum taurat. Ahli taurat itu member Jawab yang sama yang di berikan Yesus dalam Mrk 12:29-31, satu hal yang tidakperlu menherankan kita, karena ada bukti bahwa orang Yahudi telah lamamengabnkan Ul 6:5 dan Im 19:18 sebelum zaman Yesus. Dengan demikian mengingak kepada Gal 3:12 (Tetapi dasar hukum Taurat bukanlah iman, melainkan siapa yang melakukannya, akan hidup karenanya). Mungkin jawab Yesus ini bernada (legalistis), tetapi bukan begitu dalam rangka seluruh isi ajaran-Nya. Ahli taurat telah kehilangan engsi dengan diberiya jawaban ini, yang edapat dalam setiap buku teks, dan mencoba untuk mendapat prakarsa kembali dengan menuntut sesuatu definisi yang tepat mengenai “sesama manusianya”. perumpaman yang diberikan sebagai jawaban menarik sekali. Seorang penafsir menyarankan, bahwa kita menharapkan untuk mendengar sesuatu perumpamaan bagaimna seorang Yahudi harus menunjukan cinta kasihnya kepada setiap orang, juga kepada ora samaria, tetapi Yesus memperlihatkan bagaimana malahan seorang Samaria pun mungkin lebih dekat dengan kerajaan Allah dari pada seorang Yahudi yang saleh, tapi tidak ada belas kasihan. Sebab ahli Taurat memahami sesame mansia secara pasif, Yesus menyarankan agar memandang sesame manusia secara ktif, dengan kata lain Yesus tidak memberi keterangan tentang sipa yang harus ditolong oleh sese orang. Sebab gagalnya orang memenuhi perinah bukanlah timbul dari tidak ada keterangan, tapi dari tidak adanya cinta kasih. Bukan pengetahuan yang baru yang dibuthkan oleh ahli taurat itu, tapi sesuatu hati yang baru dalam bahasa yang jelas tegas: pertobatan. Kasih terhadap Sesama dan kasih kepada Allah.

Siapakah Sesama Manusia
Kalau kita belajar dari Lukas 10:25-37, sesame manusia itu lintas komunitas dan agama kita. Tema PGI 2010-2015 Tuhan itu baik bagi semua orang terimlisit pesan Kasih kepada Alah itu tercermin dari sikap cintah kasih kita kepada semua orang lintas agama, Tidak mungkin kita mengurung Allah dan karya keselamatan-Nya dalam agama kita sendiri. Perbuat kebaikan bukan hanya pada orang seagama saja dengan kita, Yesus menatakan lakukan seperti itu agar engkau hidup. Lukas 10:28b. yang dikatakan Yesus bukan sesuatu yang aftrak dan sulit, yesus menuntuk kerelaan nyata dari perbuatan seseorang sampai yang paling menderita, Greja mesti berperan aktif bagi orang-orang yang menderita, suara kenabian gereja mesti kepada orang-orang di luar keristenan, dengan demikian gereja melakukan Misi Kemanusiaan denan demikian gereja melakkan kehendak Yesus, yaitu mengasihi sesama manusia. Jadi implikasi kasih ialah bahwa kia mengasihi sesame kita (orang lain) adalah kasih terhadap Allah. Mengasihi Allah tidak mungkin dipisahkan dari mengasisi manusia. Karena manusia adalah objek dari kasih Allah. Apabila manusia menemukan Allah dalam diri orang yang menderita, maka kasih terhadap sesame manusia menjadi kaidah yang menentukan sikap terhadap Allah dan manusia

Misi dalam Dialog dan tujuannya

Dalam konteks pluralisme sekarang ini bagaimanakan Misi itu harus jalan sebagai tanggung jawab kekristenan, saya kira satu kata yang tepat Yaitu dialog, karena dialog itu sendiri adalah misi Teramat Penting kalau kehidupan dan kesaksian Kristen bercorak Teosentris, Cristosentris, dan Pneumasentris. Sejalan dengan itu kita percaya bahwa Roh Kudus sanggup menggerakan hati manusia, juga hati orang Islam kea rah Yesus. Jalannya Kita melakukan cinta Kasih. Pluralisme agama memberi peranan penting bagi terselenggaranya dialog agar tercapai saling pengertian yang mendalam. Dialog bukanlah suatu kegemaran intelektual melainkan suatu keharusan . Dialog sejatinya dilakukan dalam kesetaraan, parcum pari (setara dengan setara). Dalam dialog tidak boleh prinsip diabaikan dan tidak boleh sekedar mencari kedamaian palsu (irenicisme), sebalik-nya harus ada kesaksian yang diberi dan diterima guna saling memajukan satu sama lain di dalam perjalanan pencarian dan pengalaman keagamaan; dan saat yang sama menyingkirkan prasangka, sikap intoleran dan kesalahpahaman. Kalaupun seseorang mengalami pertobatan lewat dialog, kenyataan itu harus dapat diterima semua pihak secara positif dan wajar. Dialog mensyaratkan sikap konsisten, terbuka, kerendahan hati dan keterus-terangan sehingga dialog dapat memperkaya dan memperbarui masing-masing pihak. Dialog meminta keseimbangan sikap, kemantapan dan menolak indeferentisme (paham yang menyamakan semua agama sama) dan tidak menghendaki teologi universal . Dalam dialog setiap orang harus diterima sebagaimana ia memahami dirinya sendiri. Oleh sebab itu, masing-masing hanya dapat berbicara untuk dirinya sendiri berdasarkan posisinya sediri. Tentu posisi ini tidak boleh menjadi dogma kaku, melainkan ia harus dinamis sesuai situasi yang berubah .

Refleksi teologis
Kekristenan harus keluar dari ketertutupannya dan mem-perbaharui paradigma teologinya secara menyeluruh. Pluralisme agama menolong kita untuk rendah hati menyadari bahwa sikap superioritas tidak bermanfaat untuk mengerti orang lain lebih baik sebab Allah mengasihi semua manusia tanpa terkecuali, dan karenanya kita harus menjadi sesama (Lukas 10:36) atau menjadi sahabat bagi saudara-saudara kita yang berkepercayaan lain . Pluralisme agama bukan berarti percampuran atau sinkretisme, s ebab keunikan masing-masing agama tetap dapat dipertahankan dan dapat dikomunikasikan; dan bukan untuk dipertandingkan. Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa agama Kristen bukan jalan keselamatan satu-satunya, melainkan satu dari antara bebarapa jalan lainnya dan begitu sebaliknya . Keterbukaan semacam ini menumbuhkan perdamaian dan toleransi dan bukan pada tempatnya lagi saling menghujat, menyalahkan, apalagi membunuh. Masyarakat harus dilatih kepekaan dan solidaritas terhadap sesama yang menderita apapun agama dan kepercayaannya. Menumbuhkan kepekan dan solidaritas terhadap sesama merupakan tugas agama yang hakiki . Dalam era globalisasi, agama-agama tetap memainkan peranan penting agar masyarakat tidak hanyut dalam arus fundamentalisme dan liberalisme, karena keduanya tidak peduli dengan eksistensi orang lain. Jika agama-agama tidak dapat berdialog, maka kekerasan atas nama agama dapat mencederai kesatuan bangsa dan menciptakan ketakutan dalam masyarakat. Pluralisme agama menjadikan dikotomi mayoritas-minoritas tidak relevan lagi sebab semua umat beragama berpotensi sama baiknya membangun kehidupan bersesama secara damai dalam bingkai kepelbagaian dalam kesatuan (bhineka tunggal ika).
Daftar Bacaan :
1. ALKITAB PERJANJIAN BARU LAI, Jakarta 2000
2. Eka Darmaputera, “Teologi Persahabatan antar umat Beragama”,dalam Karel Erari, et.al., Keadilan bagi yang lemah, Buku Peringatan Hari Jadi ke-67 Prof. Dr. Ihromi, MA, (Jakarta, tanpa penerbit, 1995),
3. F.X.E. Armada Riyanto, Dialog Agama dalam pandangan Gereja Katolik, (Yogyakarta: Kanisius, 1995),
4. De Kuiper Arie. Misiologi. BPK-GM Jakarta 2009.
5. Olaf H. Schumann, Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, kata pengantar oleh Komarudin Hidayat,(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004)
6. J. Ch. Lintonng. Materi Kuliah Ilmu agama, 19 April 2010
7. Henk Ten Napel. Jalan yang Lebih Utama Lagi, Etika peejanjian baru. BPK GM Jakarta 2001
8. The New Bible Commentary. Inter Varsiti Press, London 1976. Diterjemahkn oleh Yayasan Bina kasih/OMF. BPK –GM 1980.
9. N Hillyr. The New Bible Diktionari Inter-Versity Press. Leicester LEI 7GP, England 1988. Diterjehakan oleh Yayasan Komnikasi bina Kasih, dalam ENSIKLOPEDI ALKITAB MASA KINI JILID II, Cetakan ke tujuh oktober 2004.
10. J.I Packer, Merrill C.Tenney, William White Jr, Dunia Perjanjian Baru. Gandum Mas, Malang, 1993
11. Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agma: Dialog multi-agama dan tanggungjawab global,diterjemahan oleh Nico A. Likumahuwa, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003).
12. S. Wesley Ariarajah Tak Mungkin Tanpa Sesamaku, Isu-isu dalam relasi antar iman (BPK-GM Jakarta 2008)
13. Olaf H. Shumann. Menghadapi Tantangan Memperjuankan Kerukunan (BPK-GM Jakarta 2006)
14. Einar M. Sitompul. Gereja Menyikapi Perubahan. BPK-GM Jakarta 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar