Kamis, 15 Juli 2010

Agama dan Demokrasi : Mungkinkah?


Agama dan Demokrasi : Mungkinkah?

Oleh : Pdt. Prof. Dr. John A. Titaley

Pengantar
Pokok bahasan ini menarik karena saat ini bangsa Indonesia sedang berada dalam proses pemilihan umum, sebagai suatu bagian hakiki dari kehidupan berdemokrasi, dan dalam proses pemilihan umum itu ada banyak partai yang menjadikan agama sebagai asas partainya, artinya tujuan kiprah politik partai-partai tersebut didasarkan pada ajaran-ajaran agamanya. Pertanyaan yang patut dikemukakan dalam situasi seperti itu adalah, apakah agama sejalan dengan demokrasi? Apakah agama memang dapat menjamin kehidupan manusia yang demokratik? Apakah agama dan demokrasi dua hal yang dapat berlangsung bersamaan atau sebaliknya?

Untuk membahasnya, pertama-tama akan dibahas terlebih dahulu pengertian demokrasi, lalu agama. Sesudah itu barulah kedua hal ini dapat dikaji secara kritis.

Demokrasi: Bentuk Kehidupan Bersama Yang Manusiawi
Demokrasi berasal dari dua kata Yunani, yaitu demos dan kratein. Demos berarti orang banyak dan kratein berarti memerintah. Jadi demokrasi adalah suatu sistem politik yang di dalamnya orang (-orang) dari suatu negara memerintah melalui bentuk pemerintah yang mereka pilih. Dalam sejarahnya, demokrasi pertama-tama muncul di Yunani terutama dalam kehidupan di negara-kota. Dalam bentuk awalnya, demokrasi terjadi secara langsung. Rakyat yang memiliki hak politik, terlibat langsung dalam pertemuan-pertemuan publik dan memberikan suaranya yang turut menentukan kehidupan bersama negara-kota itu. Ini bisa terjadi karena jumlah penduduk dalam suatu negara-kota tidaklah banyak. Dalam perkembangannya kemudian, kehidupan demokrasi berlangsung lewat perwakilan, melalui wakil-wakil yang dipilih rakyat banyak.

Dalam bentuk awalnya, demokrasi bukanlah hak semua rakyat, akan tetapi terbatas pada orang-oang tertentu saja. Para budak dan perempuan, tidak termasuk yang memiliki hak politik itu. Karena pengaruh agama Yahudi dan Kekristenan yang memberi perhatian kepada orang-orang tersisih dan kesamaan semua manusia di hadapan Tuhan, maka hak-hak politik itu diberikan pula kepada semua orang, termasuk perempuan.

Demokrasi Yunani yang terbatas seperti di atas berkembang sampai runtuhnya Romawi. Pada masa Abad Pertengahan sebelum terjadinya Renaissance dan Reformasi, demokrasi pada dasarnya tidak berkembang, terutama ketika terjadinya era Kekristenan. Pada era tersebut, agama Kristen berhasil mendominasi berbagai aspek kehidupan masyarakat, sehingga kebebasan manusia tidak bisa berkembang seluas-luasnya. Gereja, terutama para pemimpinnya sangat berpengaruh dalam menentukan arah kehidupan bermasyarakat. Teologi sebagai suatu disiplin keilmuan lalu ditempatkan sebagai ratu dari Ilmu Pengetahuan. Era ini dalam sejarah gereja disebut sebagai Era Konstantin (Constantinian Era). Pada tahap itu, demokrasi tidaklah berkembang. Kehidupan bermasyarakat lebih berbentuk monarki-teoktratik. Monarki karena para rajalah yang berkuasa atas kehidupan banyak orang. Teokratik, dalam pengertian bahwa para raja yang berkuasa itu dikuasai oleh para pemimpin agama (Gereja), sehingga mereka harus menjalankan ajaran-ajaran agama (gereja) dalam kehidupan bermasyarakat. Pada tahap itulah demokrasi tidak terwujud.

Perubahan baru terjadi ketika kewenangan mutlak para pemimpin gereja dipersoalkan oleh Reformasi yang dilakukan oleh Marthin Luther di Jerman tahun 1517. Ketika kewenangan mutlak para pemimpin agama itu sudah diruntuhkan dan diimbangi dengan masa Renaissance, yaitu masa perkembangan seni yang mencerminkan kebebasan berekspresi manusia, maka dominasi agama (gereja) terhadap kehidupan manusia mulai menyusut. Hal ini semakin diperkuat dengan munculnya masa pencerahan, ketika manusia mulai menghargai kemampuan akal (reason), ilmu pengetahuan dan penghargaan terhadap kemanusiaan. Masa ini dipahami sebagai masa baru setelah mereka melewati berabad-abad masa kegelapan dan ketidaktahun (ignorance). Pencerahan ini mendominasi abad 18 dan memuncak dengan Revolusi Perancis. Pada abad 19 dan 20, pencerahan mewariskan sekularisme yang menghasilkan liberalisme dan sosialisme. Berakhirnya dominasi agama (gereja) itu menandai berakhirnya era konstantin, dan mulainya era demokrasi.

Perkembangan demokrasi ini di Eropa juga terjadi sehubungan dengan semakin kuatnya kekuatan ekonomi warga masyarakat akibat revolusi industri. Sebelumnya yang menjadi orang kaya di Eropa terutama adalah para raja dan keluarga raja. Dengan revolusi industri, maka orang kaya sudah tidak dapat dibatasi hanya pada para raja dan keluarga mereka saja, melainkan juga pada pengusaha yang sukses, terutama pengusaha wool di Inggris.

Akibat dari semakin kuatnya posisi ekonomi warga masyarakat itu, lalu mereka meminta keterlibatan mereka dalam mengatur kehidupan bersama, dan tidak bisa hanya menerima kekuasaan raja saja sebagai satu-satunya penguasa dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam menetapkan pajak. Lahirlah parlemen sebagai badan yang patut didengar oleh raja sebelum membuat kebijakan baru bagi rakyatnya. Perjuangan melawan pemerintahan otokratik para raja ini di Inggris untuk pertama kalinya terjadi melalui pemberontakan rakyat terhadap kekuasaan raja dalam proses demokratik ini tahun 1642 ketika raja Charles I menentang wewenang parlemen dan akhirnya dia harus dieksekusi (dihukum gatung) oleh parlemen, karena dianggap menentang rakyat.

Pada pertengahan abad 20, hampir semua negara di dunia telah menganut sistem demokrasi ini, kecuali beberapa yang masih tinggal dalam bentuk pemerintahan yang lama. Sekalipun prakteknya belum terjadi seperti yang diharapkan, akan tetapi secara prinsip mereka menyetujui sistem demokrasi ini. Persetujuan ini terjadi Karena demokrasi memiliki beberapa prinsip dasar yang disukai, yaitu kebebasan individu, yang memberikan kepada individu suatu kebebasan dan tanggungjawab dalam mengembangkan karier dan kehidupan mereka sendiri; kesetaraan di depan hukum dan hak memilih dan mendapat pendidikan secara universal. Hak-hak seperti itu sudah dicantumkan dalam dokumen-dokumen besar seperti The Declaration of Independence AS, The French Declaration of the Rights of Man and of the Citizen, dan Atlantic Charter.

Demokrasi ini bisa berkembang dengan cepat selain didukung oleh kekuatan ekonomi rakyat, terutama oleh pemikiran-pemikiran para filosof terhadap kehidupan manusia, terutama pemikir dari Perancis seperti Montesquieu dan Rosseau, dan Jefferson dan Madison di Amerika Serikat. Karenanya, untuk memahami dengan baik pemikiran mereka tentang demokrasi, ada baiknya kita simak pemikiran mereka, terutama Rosseau yang sangat cocok bagi konteks Negara seperti Indonesia.

Dalam tulisannya Kontrak Sosial, Rosseau mengatakan suatu kehidupan bersama manusia dapat terjadi dalam dua wujud, yaitu wujud state of the nature (kehidupan secara alami) dan civil state (kehidupan secara sipil, tidak alami akan tetapi disepakati bersama-sama oleh manusia cara hidup bersama itu). Dalam tahapan state of the nature, kecenderungan yang terjadi adalah munculnya orang-orang kuat tertentu yang berhasil menundukkan dan menguasai sesama manusia lainnya dan memerintah sebagai raja atas sesamanya. Inilah yang menghasilkan monarki yang berkepanjang dalam sejarah umat manusia. Raja ini adalah raja yang dipahami berkuasa atas manusia dan segala harta bendanya, sehingga ia menjadi penguasa tunggal atas rakyatnya. Akibatnya, sesama manusianya hanya bisa tunduk dan taat kepada sang raja itu dan manusia itu kehilangan kebebasan individu dan hak atas harta bendanya. Manusia ini hanya bisa jadi budak yang tak berdaya bagi sang raja. Dalam situasi seperti ini, jaminan kebebasan individu dan hak individualnya hilang sama sekali. Hukum rimba yang berlaku dalam situasi seperti ini.

Civil state sebaliknya, adalah bentuk kehidupan bersama manusia yang tidak didasarkan atas kekuatan satu orang atau satu kelompok orang tertentu, tetapi didasarkan pada penghargaan terhadap hak-hak individu untuk mendapatkan kebebasan individunya dan kehidupan yang layak. Kehendak untuk mendapat kehidupan yang layak itu disebutnya sebagai general will (kehendak umum). General will inilah yang harus menjadi acuan kehidupan bersama itu. Untuk menjamin tercapainya general will itu, manusia membuat kontrak sosial di antara mereka sendiri untuk menyerahkan sebagian wewenang mereka kepada suatu pemerintahan untuk mengatur dan menjamin kehidupan bersama itu. Pemberian sebagian wewenang itu dilakukan lewat suatu proses demokratik, yaitu melalui pemberian suara kepada orang-orang tertentu yang dipercayai masyarakat. Dalam pemberian suara itu (proses demokratik) itu ada kemungkinan terjadi suara yang terbanyak. Suara terbanyak ini oleh Rosseau disebut sebagai the will of all (kehendak kebanyakan). The will of all ini sesuatu yang wajar saja dalam suatu proses demokratik. Yang tidak boleh terjadi adalah bahwa the will of all ini dianggap mewakili semua masyarakat, sehingga dinilai dapat menggantikan the general will itu. Kalau ini yang terjadi, maka yang tercipta bukan lagi civil state, tetapi state of the nature. Ini hukum rimba dalam bentuk kelompok, bukan lagi individu seperti jaman monarki dulu. Kalau sudah terjadi hukum rimba, maka proses dan bentuk kehidupan seperti itu tidak dapat lagi disebut demokratik. Karena itu, demokrasi bukanlah bentuk kehidupan berdasarkan suara mayoritas saja. Demokrasi adalah bentuk kehidupan bersama yang menjamin kebebasan dan hak setiap individu, entah dia berada dalam kelompok mayoritas, atau pun dalam kelompok minoritas.

Demokrasi dengan demikian merupakan bentuk kehidupan bersama yang menolak kesewenangan, entah yang muncul dalam diri individu (raja) atau pun juga kelompok. Demokrasi dengan demikian bukanlah suatu majorocracy, pemerintahan yang dijalankan sekedar berdasarkan perolehan suara mayoritas saja. Karenanya, setiap bentuk mayoritas tidak selalu berarti baik dalam kehidupan demokrasi.

Agama: Suatu Yang Ilahi?
Abad 21 menandai dimulainya suatu era baru dalam kehidupan umat manusia. Disebut era baru, karena sebagaimana halnya dengan abad-abad sebelumnya, selain dia merupakan suatu penggalan waktu yang penting, yaitu awal dari suatu millennium, dia juga merupakan suatu masa ketika perkembangan pengetahuan dan kemampuan teknologi manusia bagaikan suatu loncatan melejit, jika dibandingkan dengan pengetahuan dan kemampuan teknologi manusia abad-abad sebelumnya. Hal ini terjadi sehubungan dengan berkembangnnya kemampuan akal manusia setelah melewati masa-masa pencerahan dan sekularisasi. Apa yang dahulu hanya dapat dipahami sebagai mujizat atau sesuatu yang mustahil, kini dapat terjadi sebagai sesuatu yang biasa saja. Dalam hal itu, agama yang dahulu dianggap jawaban atas semua ketidaktahuan manusia, kini telah tersingkap oleh kekuatan akal manusia. Dahulu hanya Tuhan sajalah dipahami sebagai Pencipta, kini manusia juga adalah pencipta-bersama Tuhan (co-creator). Dengan pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya, manusia kini telah bisa mendarat di bulan. Manusia kini telah dapat mengamati dalam keterbatasannya, gejala alam yang terjadi di angkasa luar; gejala-gejala letusan gunung berapi; badai yang akan terjadi di suatu tempat tertentu; manusia telah dapat membuka tabir penyakit ayan yang dahulu hanya dipahami terjadi karena adanya kuasa gelap dalam diri seseorang, bahkan kini sudah dapat mengatasinya; dan manusia kini bahkan sudah dapat menciptakan manusia lainnya dengan teknologi cloning. Apa yang dimiliki manusia kini adalah suatu kosmologi dan peradaban yang berbeda sama sekali dengan kosmologi dan peradaban manusia abad-abad sebelumnya.

Dalam era perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia yang sedemikian pesat itu, pertanyaan yang timbul kemudian adalah, masih adakah peran agama dalam kehidupan manusia itu? Kalau masih, peran dan kedudukan seperti apakah yang dapat dimainkan oleh agama? Apakah agama-agama seperti yang dianut manusia kini masih penad bagi kehidupan manusia abad 21 itu?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang perlu ditelaah secara sungguh-sungguh, kalau agama masih hendak dilihat perannya dalam kehidupan manusia abad 21 itu. Dalam kerangka itulah, saya akan membahas persoalan ini lewat suatu tinjauan terhadap Kekristenan. Secara khusus perhatian akan diberikan kepada Kitab Suci orang Kristen yaitu Alkitab, yang selama ini telah dijadikan acuan satu-satunya bagi kehidupan manusia, kalau tidak dapat dikatakan telah dijadikan berhala oleh orang Kristen, seolah-olah Tuhan telah digantikan oleh Alkitab itu. Dengan analisis yang cukup terhadapnya, diharapkan dapat dijawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan baik.

Hal ini perlu dilakukan karena tahun 2003 lalu kita baru saja mengalami peristiwa yang cukup menghebohkan dalam kehidupan beragama dengan kenyataan kelompok Pondok Nabi di Bandung. Sekelompok umat Kristen yang tergabung dalam Pondok Nabi telah mempersiapkan diri menyambut kedatangan kiamat. Dalam pemahaman mereka, merekalah yang akan diangkat Tuhan ketika kiamat itu terjadi. Pemahaman ini terjadi karena pemimpinnya, Pdt. Sibuea yakin bahwa Roh Kudus telah berbisik kepadanya melalui doa dan puasa selama 40 hari bahwa kiamat akan terjadi tanggal 10 November 2003 di Bandung dan hanya dia bersama para pengikutnya sajalah yang akan diangkat ke surga. Pemahaman terhadap kiamat ini diperolehnya dari Alkitab. Pada tanggal 10 November 2003, kiamat tidak terjadi dan kelompok tersebut dibubarkan aparat keamanan setempat.

Kasus ini menunjuk kepada kenyataan bahwa yang dipahami manusia sebagai yang berasal dari Tuhan (Roh Kudus) teryata salah. Lebih tepat, itu merupakan interpretasi Pdt. Sibuea terhadap sesuatu yang tidak jelas, yang dianggapnya berasal dari Tuhan. Ketika dalam kenyataannya hal itu tidak terjadi, pertanyaannya adalah apakah itu memang suara Tuhan? Kalau bukan suara Tuhan lalu suara apa? Apakah Tuhan memang selalu berfirman secara langsung seperti terjadinya percakapan langsung antara dua orang?

Dalam kenyataannya tidak demikian. Kalau memang Tuhan berbisik kepada Pdt. Sibuea, yang menarik untuk diketahui adalah dengan menggunakan bahasa apakah Tuhan berfirman? Bahasa Batak atau bahasa Indonesia (bahasa budaya Pdt. Sibuea)? Bahasa Ibrani atau Yunani (bahasa-bahasa Alkitab Pdt. Sibuea)?

Tuhan tidak berkomunikasi dengan manusia secara langsung seperti halnya dua orang berkomunikasi. Yang terjadi biasanya adalah bahwa manusia hanya bisa menafsirkan sesuatu yang berasal dari Tuhan itu, dan pemahaman itu baru akan diketahui beberapa waktu kemudian, ketika sejarah kehiduoannya kenunjukkan kebenaran tafsiran tersebut. Kalau tidak benar, ya bukan dari Tuhan. Jadi hubungan itu sesuatu yang sifatnya misterius!

Dalam tradisi iman Kristen, pedoman seperti itu yang dinilai berasal dari Tuhan lalu ditujukan kepada Alkitab. Lalu terjadilah Alkitab dijadikan acuan satu-satunya. Pertanyaan berikutnya, benarkah pemahaman itu?


Alkitab: Satu-Satunya Sumber Kekristenan?
Tidak kita sadari bahwa kedudukan dan peran Alkitab dalam kehidupan Kekristenan sudah sedemikian besarnya kini. Kita tidak bisa hidup secara Kristiani tanpa Alkitab. Kekristenan telah sangat mengistimewakan Alkitab, sehingga kedudukannya dalam kehidupan Kekristenan seolah telah menggantikan kedudukan Tuhan. Tuhan hanya dapat dipahami sebatas apa yang dikatakan Alkitab tentang Tuhan. Akibatnya, tanpa terasa Tuhan telah dibatasi oleh pernyataan-pernyataan yang ada dalam Alkitab. Masalahnya, apakah Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Besar itu benar-benar dapat dibatasi oleh Alkitab? Hanya sebesar itukah saja Tuhan itu? Siapakah manusia yang dapat mengatakan bahwa hanya sebatas itu sajalah Tuhan itu? Apakah kewenangan manusia membatasinya seperti itu?

Dalam kehidupan beragama, juga dalam Kekristenan, manusia berhubungan dengan Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Besar itu. Manusia-manusia tersebut percaya bahwa Tuhan itu ada dan Tuhan itu riel. Dia bukannya suatu rekaaan manusia belaka. Kalau benar dia rekaan manusia, maka betul kata Marx, bahwa Tuhan itu diciptakan manusia. Sebenarnya Dia tidak ada, akan tetapi karena kebutuhan manusia, manusia menciptakan Dia. Tentu tidak demikian pemahaman kita tentang Tuhan dan kehendakNya.

Yang jadi masalah, apakah memang Tuhan dan kehendakNya itu sudah dipahami manusia secara sempurna dan tepat, sehingga ketika digambarkan keberadaan dan kehendakNya dalam Alkitab, manusia telah dapat menyatakannya dengan sempurna dan tepat pula? Berikut ini beberapa contoh dari Alkitab yang diharapkan dapat membantu kita memahami persoalan yang saya maksudkan.







Menurut Kejadian 1: 1 – 2: 4b berdasarkan terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), Tuhan menciptakan langit dan bumi serta segala isinya dalam waktu enam hari. Pada hari ketujuh Dia beristirahat dan menguduskannya seolah itulah hari sabbath. Ada beberapa masalah dengan cerita ini bagi orang di abad 21.

Kej 1: 6: Berfirmanlah Allah “Jadilah cakrawala di tengah segala air untuk memisahkan air dari air.”
Kej 1: 7: Maka Allah menjadikan cakrawala dan Ia memisahkan air yang ada di bawah cakrawala itu dari air yang ada di atasnya. Dan jadilah demikian.

Dari bagian cerita penciptaan ini kita memahami bahwa cakrawala itu memisahkan air yang ada di bawah dan air yang ada di atas cakrawala itu. Bagi orang abad 21 air yang ada di bawah cakrawala itu adalah lautan yang luas. Lalu air yang ada di atas cakrwala itu yang mana? Hujan? Hujan hanya ada dalam bentuk awan mendung yang karena perbedaan tekanan udara melahirkan butir-butir air yang turun dalam bentuk hujan. Di atas cakrawala tidak ada air. Kalau benar ada, tentu Apollo 21 atau pesawat ulang-alik akan tenggelam dalam air di atas cakrawala ketika mereka terbang menembus cakrawala (atmosphere?), sehingga Neil Amstrong tidak bisa menginjakkan kakinya di bulan. Lalu air yang mana yang dimaksudkan dalam cerita ini? Manusia abad 21 akan kesulitan memahami kosmologi seperti dalam Kejadian 1 ini. Langit dan bumi yang mana yang diciptakan Tuhan itu? Lalu pertanyaan berikut yang akan muncul, benarkah alam semesta ini bisa diciptakan hanya dengan berfirman (berkata-kata mengucapkan mantera) dan semuanya terjadi dalam waktu enam hari?

Gambaran dunia (kosmologi) seperti ini akan sulit dipahami oleh orang abad 21 yang setiap kali bisa menyaksikan lewat televisi, bagaimana suatu pesawat angkasa luar terbang ke atas langit dan menembus langit itu (cakrawala?) dan tidak menemukan air, bahkan suatu ruang hampa ternganga sedemikian luasnya, sehingga bumi kita ini terasa kecil bagai salah satu bulan dari berbagai macam bulan dan bintang yang ada di angkasa luar itu. Bahkan mataharinya bukan cuma satu, melainkan beribu-ribu.tak terkirakan. Ada kesulitan besar bagi orang abad 21 menerima cerita seperti itu sebagai cerita asal-usul bumi dan isinya.

Di atas saya katakan bahwa itu terjemahan versi LAI. Kalau cerita diterjemahkan dari naskah bahasa Ibraninya, bisa menghasilkan terjemahan yang berbeda. Misalnya Kej 1: 1. LAI menterjemahkannya sebagai berikut

Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.

Ayat itu dapat pula diterjemahkan lain, misalnya, karena kata bereshit (Ibrani) dan bara (Ibrani) bisa memiliki arti lain pula. Bereshit bisa berarti pula hal-hal pertama, pertama kalinya. Sedangkan bara bisa berarti pula memisahkan, membedakan. Kalau diterjemahkan dari sisi itu, maka terjemahannya kira-kira akan seperti ini

Hal pertama yang Allah pisah-pisahkan dari langit dan bumi.

Terjemahan seperti ini sama sekali tidak bicara tentang penciptaan langit dan bumi seolah-olah sesuatu yang belum ada lalu menjadi ada (creatio ex nihilo). Dia berbicara tentang sudah ada langit dan bumi yang tercampur tak keruan tanpa ada aturannya (tak tertib), sehingga harus dipisahkan (ditertibkan). Secara simbolik terjemahan seperti ini akan lebih dapat diterima kalau, latar belakang cerita seperti ini bisa dipahami oleh manusia abad 21.

Hal yang sama pula terjadi dengan cerita tentang doa Yoshua yang memberhentikan matahari dalam Yoshua 10: 12-13. Karena ayat-ayat ini, maka Galileo Galilei dihukum gereja karena ajarannya yang sejalan dengan Copernicus yang mengatakan bahwa bukan matahari yang berputar mengelilingi bumi, tetapi sebaliknya yang benar, oleh gereja berdasarkan ayat-ayat ini dinyatakan salah. Ternyata di kemudian hari berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ajaran Galileo dan Copernicus itulah yang benar, dan gereja menyadari kesalahannya. Yang terjadi dalam peristiwa ini pada abad 16-17 itu adalah adanya dua pandangan tentang dunia (kosmologi) yang berbeda, yaitu kosmologi Alkitab dan kosmologi ilmu pengetahuan modern. Dari peristiwa ini sudah menjadi jelas bahwa kosmologi Alkitab sudah tidak memadai lagi bagi manusia modern dan manusia abad 21 yang kosmologinya sudah berkembang sangat jauh, meninggalkan kosmologi Alkitab.

Bukan saja, kosmologi yang berbeda, akan tetapi peradaban juga berbeda. Misalnya dalam kitab Imamat 11: 7 yang di dalamnya disebutkan bahwa babi hutan adalah binatang yang haram, karenanya tak boleh dimakan (cf Ulangan 14:8). Babi juga dalam Perjanjian Lama (PL) dikategorikan sebagai binatang jijik dan karenanya haram seperti yang ada dalam Yesaya 65:4 dan 66; 17. Bagi kebanyakan orang Kristen di Maluku ini, adakah babi hutan atau babi itu binatang haram? Termasuk dalam larangan itu adalah kelinci. Nyatanya larangan itu telah tidak berlaku lagi.

Hal yang sama pula dengan pandangan PL tentang perempuan yang datang bulan. Imamat 15 dengan tegas mengatakan bahwa perempuan yang demikian adalah najis, dan semua yang disentuhnya menjadi najis pula. Dia baru akan kudus kalau tidak mengeluarkan darah lagi. Idealnya, perempuan itu tidak boleh mengeluarkan darah, yang berarti harus hamil, dan itu tidak lain dari pada harus melahirkan anak saja. IOtu idealnya. Dalam dunia modern kini perempuan yagiodeal bukan lagi yang harus melahirkan saja. Bahkan tidak perlu melahirkan pula bisa memiliki anak.

Kita akan mengatakan bahwa yang dalam PL itu sebagi bagian dari Torat, sudah digenapi oleh kematian Yesus Kristus, sehingga tidak lagi menjadi karangan dalam PB. Kalau demikian halnya, bagaimana dengan ayat-ayat dalam PB yang secara kosmologis dan peradaban sulit dipahami manusia abad 21?

Paulus yang dengan keras mengatakan dalam surat Galatia 3: 28 bahwa torat sudah digantikan oleh anugerah Tuhan dalam keselamatan manusia, sehingga tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, justru dalam suratnya kepada jemaat di Korintus mengatakan dalam I Korintus 14: 34-35 bahwa perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan jemaat, sebab mereka tidak diperbolehkan berbicara. Kalau mau tahu sesuatu, tanyakan kepada suami mereka di rumah. Tidak sopan bagi perempuan berbicara dalam pertemuan jemaat. Bahkan lebih dari pada sekedar berdiam diri, Paulus yang sama juga dalam I Korintus 11: 5 -13 yang menghendaki agar kalau perempuan berdoa atau bernubuat haruslah ia berkerudung. Dalam kebanyakan gereja ketika bukan hanya perempuan itu harus berdiam diri dan menanyakan kepada suaminya sesuatu yang tidak jelas, serta berkerudung waktu berdoa, tetapi malah bahkan sudah mentahbiskan perempuan menjadi pendeta (pemimpin) yang mengajarkan banyak orang dalam pertemuan jemaat, termasuk suaminya sendiri, serta tidak menggunakan kerudung lagi di mimbar, apakah gereja itu telah melanggar Firman Tuhan atau perintah Paulus? Kalau peradaban Alkitab seperti ini adalah kehendak Tuhan, maka kita semua sudah berdosa karena telah telah memberontak terhadap kehendak Tuhan.

Apa yang saya kemukakan sebagai contoh ini sekedar mengatakan adanya perbedaan antara kosmologi dan peradaban manusia abad 21 yang sudah tidak bisa lagi hidup dengan kosmologi dan peradaban yang ada dalam Alkitab, baik PL maupun PL. Nyatanya manusia abad 21 masih bisa hidup dengan baik dengan kosmologi dan peradabannya itu. Bagi perempuan abad 21, peradaban ini malah merupakan suatu peradaban yang memberikan kebebasan (liberating) yang sangat besar kepada mereka. Mereka boleh memiliki hidup sendiri di apartemen dan rumah sendiri, punya karier sendiri bahkan menjadi pejabat tinggi sampai menjadi presiden, berjalan dengan bebas pada malam hari tanpa harus takut pada laki-laki yang dapat menerkamnya, karena dijamin oleh hukum.

Hal ini hanya merupakan sebagian saja dari contoh bahwa menjadikan Alkitab sebagai satu-satunya sumber Kekristenan sudah tidak memadai lagi, apalagi kalau harus dipahami sebagai buku yang berisi kehendak Tuhan secara harafiah. Tuhan tidak bisa dibatasi hanya sebatas kesaksian yang ada dalam Alkitab. Kalau begitu bagaimana Alkitab itu terjadi?

Sejarah Terbentuknya Alkitab
Bagi Kekristenan, Alkitabnya terdiri dari dua kitab utama, yaitu PL dan PB. PL adalah kitab yang terdiri dari 39 kitab yang baru dikanonkan tahun 90 ZB (zaman bersama) di kota Jamnia dekat Yerusalem. Pada waktu dikanonkan, PL itu Alkitab Ibrani (Hebrew Bible), karena memang itu adalah Alkitabnya orang Yahudi, yang sebelumnya adalah bangsa Israel dan dimulai sebagai bangsa Ibrani. Kitab-kitab yang terdiri dari 39 kitab itu merupakan kumpulan dari proses panjang yang diperkirakan dimulai tertulis dalam bentuk sejarah kerajaan Israel Raya pada jaman Raja Daud berkuasa sekitar tahun 1000 SZB (sebelum zaman bersama) sampai sekitar tahun 100 SZB. Kumpulan tulisan yang beragam itu terdiri dari sejarah kerajaan, tulisan para nabi, nyanyian-nyanyian, puisi, cerita pendek, amsal-amsal mulai dikumpulkan sekuitar tahun 600 SZB ketika Koresy, Raja Persia, menyuruh para imam di Yerusalem menertibakn kehiduoan social bangsa Yahudi yang kacau balau akibat pembuangan oleh Babilonia Baru tahun 587 SZB. Kumpulan itulah yang ditambahkan dengan tulisan-tulisan lainnya baru, termasuk yang paling muda sekitar tahun 100 SZB dikanonkan tahun 90 ZB.

Berbeda halnya dengan PL, PB mulai dikumpulkan sekitar abad 2 ZB ketika surat-surat Paulus (mungkin 10 suratnya) digunakan secara teratur sebagai acuan sah kehidupan bergereja. Surat-surat tersebut adalah surat-surat pribadi Paulus yang ditulisnya sebagai penguatan bagi jemaat-jemaat yang telah dibangunnya yang tersebar di Asia Kecil pada masa kekaisaran Romawi. Paulus sendiri mungkin tidak menduga bahwa surat-suratnya itu pada suatu waktu akan menjadi bagian dari Alkitab. Dapat diduga bahwa pengumpulan ini juga terjadi setelah Keyahudian membakukan 39 kitabnya dalam Alkitab Ibrani itu, sehingga Kekristenan yang merupakan sekte dari Keyahudian itu merasa perlu merumuskan “kumpulan’ kitab-kitab acuan mereka tersendiri, karena jarak yang tidak jauh dari tahun 90 ZB itu. Proses yang dimulai sejak abad 2 itu berakhir pada tahun 397 ZB (zaman bersama) dalam konsili di Carthage dengan 27 kitab di bawah kepemimpinan Agustinus, yang kemudian ditegaskan kembali dalam konsili tahun 419 ZB di Hippo. Dalam proses kanonisasi itu empat ukuran yang dipakai, yaitu (1) pengarang: haruslah seorang rasul (murid Yesus) atau orang yang dekat dengan rasul. Injil Markus tidak ditulis rasul, akan tetapi karena dia dekat dengan Petrus, kitabnya masuk; (2) hakikat kitab: apakah berita kitab itu sesuai dengan pernyataan illahi dalam PL, apakah kitab tersebut merefleksikan ciri dari pribadi dan pekerjaan Yesus dan bersesuaian dengan tulisan para rasul; (3) universalitas: apakah kitab itu dibaca dan dipraktekkan dalam kehidupan gereja-gereja sebagai Tubuh Kristus?; (4) inspirasi: apalah kitab tersebut memiliki sifat kerohanian (spiritual) yang sejalan dengan pekerjaan Roh Kudus yang berdiam dalam setiap orang percaya?

Kalau proses terjadinya Alkitab Kristen seperti itu, maka dapat dimengerti bahwa apa yang ditulis para penulis PL dengan kosmologi dan peradabanya, yaitu kosmologi dan peradaban abad 11 SZB sampai abad 2 SZB, berbeda dengan kosmologi dan oeradaban manusia abad 21. Begitu pula halnya dengan PB, sesuatu yang ditulis dengan kosmlogi dan peradaban abad 1 dan 2 pasti berbeda dengan kosmologi dan peradaban abad 21. Roh Kudus itu bekerja juga dalam diri manusia abad 21 dengan spiritualitas abad 21. Hal ini tidak boleh diingkari. Roh Kudus tidak hanya berada pada manusia Kristen abad 1 dan abad 2 saja, melainkan juga berada dan bekerja dalam diri manusia abad 21. Pekerjaan Roh Kudus ini terjadi dalam kosmologi dan peradaban manusia abad 21 itu sebagaimana halnya manusia abad 1 dan 2 dan juga abad-abad sebelumnya.

Agama dan Demokrasi: Mungkinkah?
Apa yang dikemukakan di atas merupakan suatu refleksi dari suatu pergumulan yang belum tuntas, dinamik dan berpengharapan. Belum tuntas karena sadar akan keterbatasan kosmologi dan peradaban masa lalu bagi masa kini dan karenanya patut dipertanyakan setiap usaha untuk “memaksakan” manusia abad 21 hidup dengan paradigma abad 1 dan abad 2, apalagi kalau “pemaksaan” itu harus dilakukan dengan cara menakut-nakuti manusia abad 21 kini pakai nama Tuhan lagi. Dinamik karena dia sadar bahwa Tuhan tidaklah statis dan pensiun setelah Alkitab dikanonkan, tetapi Tuhan bekerja terus dalam sejarah manusia dengan segala kemampuan dan keterbatasannya. Dinamik karena dia ingin bergerak terus, tidak berhenti pada suatu tahapan tertenhtu dalam sejarah umat manusia. Berpengharapan karena dia sadar bahwa suda tentu ada sesuatu di depoan sejarah umat manusia yang dapat memberikan pemecahan terhadap permasalahan masa kini yang tidak diketahui oleh manusia, sebagaimana sudah terjadi dalam sejarah umat manusia di masa lalu.

Karenanya, sebagaimana halnya manusia telah memasuki era yang baru dalam sejarah kehidupannya, patutlah manusia itu beragama dalam roh jamannya. Sebagai yang demikian, tidak bisa diterima lagi oleh manusia abad 21 pemaksaan-pemaksaan paradigma lama, apalagi setelah diketahui bahwa paradigma lama itu punya rohnya tersendiri yang penad pada jamannya. Sayang sekali kalau agama-agama yang demikian itu masih tetap harus dipaksanakan berlaku pada masa kini.

Akibatnya, agama tidak lagi bisa dijadikan alat untuk menghancurkan sesama manusia atas nama Tuhan. Pertanyaan yang akan diajukan manusia abad 21 adalah bernarkah Tuhan memang menghendaki demikian? Buktinya apa? Apakah Tuhan memang berkomunikasi langsung dengan manusia seperti halnya percakapan lewat telepon? Kalau memang demikian, dapatkah seseorang yang melakukan percakapan telepon itu mengingat seluruh percakapan telelpon itu dengan baik? Tidakkah disana-sini pasti akan ada interpretasi yang tidak sama tepat dengan percakapan itu? Bernhard Lang mengatakan bahwa dalam pengalaman para nabi PL, kehendak Tuhan dipahami secara intuitif saja. Sudah tentu kehendak Tuhan itu tidak diberikan dalam bentuk berita facsimile. Oleh karenanya, ketika manusia mulai membunuh sesamanya karena dia kafir atau pendosa atas nama Tuhan, orang abad 21 akan bertanya benarkah Tuhan berkehendak demikian? Tuhan seperti apakah yang lemah seperti itu, sehingga harus menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuanNya?

Dengam menggambarkan keberadaan agama seperti itu, menjadi jelas bahwa klaim atas agama masa lampau yang dipahami manusia seolah berasal dari Tuhan, kini sudah harus dipertanyakan lagi. Karenanya, ketika ada orang yang mengklaim bahwa agama harus menjadi pedoman satu-satunya yang benar bagi kehidupan manusia pada abad 21 kini, termasuk di dalamnya kehidupan demokratik, pertanyaan yang patut dikemuakan adalah, agama yang mana? Kalau agama itu didasarkan pada Kitab Suci sudah kita ketahui masalahnya. Begitu pula ketika ada yang mengklaim sudah mendapatkan penglihatan atau wahyu dari Tuhan, pertanyaan yang patut dikemukakan adalah, apa buktinya?

Kalau itu diterapkan dalam kehidupan berdemokrasi, pertanyaannya dapatkah agama menjamin kehidupan manusia menjadi demokratik ketika hanya orang-orang tertentu saja yang memiliki keistimewaan mengetahui Wahyu Tuhan sedangkan yang lainnya tidak? Ketika masih ada perbedaan antara satu manusia dengan yang lainnya, sudah pasti itu bukanlah kehidupan yang demokratik. Dalam kehidupan beragama, kehidupan yang demikian adalah teokratik, yaitu kehidupan yang didasarkan atas kekuasaan Tuhan (Theos). Kekuasaan Tuhan itu dilaksanakan lewat orang-orang tertentu yang dinilai dapat memahami kehendak Tuhan itu. Teokrasi pasti tidak demokratis. Kehidupan beragama tidak bisa dipaksakan masuk dalam kehidupan demokartis, apalagi kalau agama itu berupa tafsiran terhadap wahyu Tuhan yang selalu saja bisa salah.

Karenanya, upaya mendirikan partai agama dalam suatu kehidupan berdemokrasi adalah salah kaprah, kalau tak dapat dikatakan mimpi di siang bolong!

















Acuan Kepustakaan

Berger, Peter L. (ed), The Desecularization of the World: Resurgent Religion and World Politics. Washington DC-Grand Rapids Michigan: Ethics and Public Policy Center-William B. Eerdmans Publishing Company, 1999.

Gottwald, Norman K., The Hebrew Bible: A Socio-Literary Introduction. Philadelphia: Fortress Press, 1985.

Lang, Bernhard, Monotheism and the Prophetic Minority: An Essay in Biblical History and Sociology. The Social World of Biblical Antiquity Series 1. Shefield: The Almond Press, 1983.

Microsoft® Encarta® Encyclopedia 2003. © 1993-2002 Microsoft Corporation. All rights reserved.

http://www.momo.essortment.com/cannonizationbib_rbnd.htm. Joy Odom, The Cannonization of the Bible diambil tanggal 28 November 2003.

http://www.newadvent.org/cathen/06342/html diambil tanggal 28 November 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar