Kamis, 15 Juli 2010

Relasi Manusia dengan Alam : Suatu Kajian Pemikiran Pdt. Prof. Dr. W. A. Roeroe Terhadap Permasalahan Lingkungan Hidup



Relasi Manusia dengan Alam :
Suatu Kajian Pemikiran Pdt. Prof. Dr. W. A. Roeroe Terhadap
Permasalahan Lingkungan Hidup

Pendahuluan

Dunia dan segala isinya merupakan hasil ciptaan Allah. Pengungkapan ini sangat jelas dicatat dalam Alkitab, melalui kesaksian yang menceritakan tentang penciptaan langit dan bumi serta segala isinya, lalu kemudian Tuhan menciptakan manusia pertama yang ditempatkan di taman Eden (Kejadian 1-2). Penciptaan yang di lakukan oleh Tuhan dengan teramat baik mengandung maksud tersendiri bahwa melalui penciptaan, Allah menghendaki manusia dan alam menjalin suatu hubungan yang harmonis. Hubungan ini ingin memperlihatkan bahwa alam dan manusia sebagai hasil ciptaanNya ingin memberikan pengakuan terhadap eksistensi Allah di tengah-tengah ciptaanNya. Manusia sebagai salah satu ciptaan Allah adalah ciptaan yang memiliki keistimewaan tersendiri dan melebihi ciptaan Allah lainnya. Olehnya karena itu, Daud pernah berkata: “Aku bersyukur kepadaMu karena kejadianku yang dahsyat dan ajaib, ajaib apa yang Kau buat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya” (Mzm. 139:14). hanya manusia yang diberikan mandat dari Allah


untuk memelihara dan melesarikan serta mengelola ciptaan yang lain (Kej. 1:28, 31; 2:15). Mandat Allah yang di berikan bagi manusia untuk mengelola ciptaanNya,
Melalui keunggulan akal yang dimiliki oleh manusia maka berbagai hasil alam pun diolah dan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena keinginan mansia yang tidak terbatas, maka manusia melakukan eksploitasi alam, tanpa melihat keberadaan sumber daya alam yang terbatas dalam memenuhi kebutuhan manusia, akhirnya terjadilah kerusakan lingkungan. Permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini bukan lagi menjadi masalah yang asing bagi manusia. Berbagai masalah yang berhubungan dengan prilaku manusia dengan alam dapat kita temui dan rasakan pada kehidupan kita sekarang ini.
Untuk melihat permasalahan ini, maka ada baiknya penulis mencoba mengkaji pemikiran dari seorang seorang guru besar UKIT, yaitu Pdt. Prof. Dr. W. A. Roeroe, Selain juga memberikan minat pada Pernjanjian Lama (PL) dan budaya, ada juga minat yang dimiliki juga oleh Prof. Roeroe yaitu minatnya tentang alam. Minat atau pemikiran dalam bidang inilah yang coba di gali oleh penulis dengan tujuan memberikan suatu kerangka pemikiran teoritis mengenai betapa pentingnya masalah alam atau lingkungan untuk menjadi pembicaraan yang aktual masa kini.

Permasalahan Lingkungan hidup
Telah dijelaskan di atas, bahwa berbagai permasalahan lingkungan hidup bukanlah suatu yang asing ditelinga kita. Sejak zaman dahulu telah terjadi masalah ini tetapi diakibatkan karena faktor alamiah, misalnya Gunung meletus, atau kebakaran hutan yang terjadi karena gesekan ranting pohon pada musim panas, sehingga membuat percikan api. Jadi masalah ini terjadi tanpa campur tangan dari mahluk yang dinamakan manusia. Namun, sungguh sangat disayangkan akhir-akhir ini banyak tejadi permasalahan lingkungan yang memang terjadi akibat ulah manusia itu sendiri yang secara sengaja melakukan ekspolitasi pada alam. Khusus hal ini banyak kita temui dimana saja, bahkan pada umumnya di setiap negara yang ada dibelahan bumi ini memiliki masalah yang sama. Misalnya pencemaran Udara, Air, dan Tanah yang disebabkan limbah-limbah gas yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan industri. Banjir yang diakibatkan oleh manusia yang menebang pohon secara tidak bertanggungjawab dan tidak melakukan upaya reboisasi hutan yang telah gundul, sehingga ketika datang musim hujan maka terjadilah banjir dan tanah longsor. Dan tentu saja dari masalah-masalah alam ini telah banyak menimbulkan korban jiwa dan juga dari populasi hewan yang semakin menurun bahkan lenyap, karena tempat tinggal mereka telah hilang. Bahkan juga ini tengah mengahangat juga fenomena pemanansan global, sebagai klimaks dari sikap manusia itu sendiri yang tidak bersahabat dengan alam.
Dari masalah lingkungan yang terjadi, kita sebagai manusia harus bertanya apakah kita tidak dapat berpikir secara logis dan sistematis lagi sehingga tindakan kita untuk mengeksploitasi lingkungan hidup hanya berhenti pada tahap pengeksploitasian semata tanpa diikuti proses selanjutnya yaitu tanggungjawab untuk merawat dan memilihara? Lemahnya kesadaran kita terhadap lingkungan hidup juga terjadi karena adanya anggapan yang memandang bahwa pemanfaatan alam bagi manusia itu adalah hal yang wajar dan tidak menyalahi aturan. Menebang pohon guna kebutuhan manusia adalah hal yang sangat lumrah, misalnya. Membuang sampah sembarangan di mana pun sepertinya adalah suatu hal yang juga wajar, belum ada aturan yang ketat untuk itu. Proses yang sama kiranya juga terjadi atas sikap kita terhadap alam dan lingkungan hidup. Kita tahu bahwa menebang pohon seenaknya suatu hal yang jelas-jelas salah, tapi kita toh tetap melakukannya berulang-ulang, sebab kita diuntungkan, dan itu adalah hal yang sudah biasa dan mungkin kita menikmatinya. Barangkali kita baru akan benar-benar tersadar ketika terjadi bencana besar menimpa hidup kita atau sesama kita.


Keprihatinan Prof. Roeroe pada Hutan Gunung Mahawu
Keprihatinan terhadap masalah kerusakan alam, khususnya kondisi hutan di sekitar Gunung Mahawu di Tomohon ternyata telah di gumuli oleh Pdt. Prof. Dr. W. A. Roeroe. Melalui tulisannya yang berjudul Hutan, Hantu dan Tuhan ia memberikan suatu cerita pengalaman, yang pada waktu itu tengah terjadi Perang Dunia ke-II 1941-1945, dimana tentara Jepang melakukan penyerbuan dan menguasai daerah-daerah di Indonesia, termasuk Minahasa yang menjadi tempat penimbunan bahan-bahan logistik perang. Atas kehadiran tentara Jepang membuat sebagian penduduk melakukan penyingkiran ke hutan. dalam penyingkiran inilah Prof. Roeroe mendapat kesempatan untuk belajar pada sang kakek mengenai berbagai mahluk hidup yang ada pada waktu itu. Yang pada intinya keutuhan hutan di Gunung Mahawu itu masih tetap terjaga, berbagai species hewan langka masih banyak di temukan waktu itu, seperti “Celeng” (Babi Hutan), “Kulo Ipus” (Tikus Berekor Putih), “Kuse”, “Tangkasi”, “Tarchus”, “Kum-kum”, dll. Para penghuni hutan ini seolah-olah memberikan suatu suara orkes yang unik dan indah untuk di dengar, di tengah lebatnya Pohon-pohon besar yang menutupi tanah, membuat suasana ditengah hutan terasa damai dan menenangkan jiwa, sambil memuji kebesaran Tuhan yang telah menciptakan semuanya itu. Pengalaman ini disebut Prof. Roeroe sebagai “Kuliah Kerja Lapangan” dari sang kakek yang bernama Penatua Absalom Angow.
Sungguh menyedihkan hati ketika Prof. Roeroe kembali dari tugas belajar di Jerman di penghujung tahun 1970-an, beberapa kali Prof. Roeroe melakukan pendakian di lereng Gunung Mahawu, tetapi sangat disayangkan lebatnya hutan yang dahulu pernah menenangkan jiwa, beberapa mata air yang besar yang menjadi sumber air minum dari penduduk dan alunan suara orkes dari “penghuni” hutan Mahawu kini telah hilang di telan rakusnya sikap manusia yang melakukan penggundulan hutan secara tidak bertanggung jawab
Ada suatu keprihatinan yang besar melihat kondisi ini, karena berbagai sumber alam turut memberikan peranan yang penting bagi kelanjutan kehidupan seluruh mahluk hidup, secara khusus manusia. Dari setiap generasi pastinya membutuhkan sumber-sumber ini baik untuk tempat tinggal (papan), maupun makanan (sandang). Juga bagi para hewan yang hidup membutuhkan kondisi hutan yang baik untuk menjadi tempat tinggal mereka dan untuk berkembang.

Berangkat dari Pemikikiran Prof. Dr. W. A. Roeroe
Dari beberapa kasus yang telah diuraikan di atas, sedikit banyak telah memberikan pada kita gambaran yang jelas tentang kondisi alam yang tengah terjadi di bumi tempat kita tinggal. Realitas ini bukan hanya memberikan pada kita informasi tentang kondisi alam yang menjadi tempat kita “bertumpu” dengan memanfaatkan berbagai kekayaan yang dihasilkannya, melainkan sudah saatnya kita mencoba memberikan suatu masukan pemikiran yang berarti dalam menghubungkan sikap manusia dalam mengelola alam. Hal ini bertujuan dalam rangka menyelamatkan kondisi alam ini yang sudah semakin rusak. Atau pendek kata, kita memperhatikan alam bukan karena alam sudah memberikan pada kita berbagai hasil, melainkan karena alam membutuhkan kita (manusia) untuk melestarikannya melalui paradigma berpikir tentang alam itu sendiri.
Berhubungan dengan membangun paradigma berpikir yang baru tentang alam maka ada baiknya jika kita mencoba menggali pemikiran dari Pendeta Prof. Dr. W. A. Roeroe, yang dalam tulisannya yang berjudul Renungan Tentang Pelestarian Bumi , telah memberikan suatu bahan pemikiran tentang bagaimana manusia berhubungan dengan alam dalam perspektif teologis, yang didasarkan atas penafsiran yang kritis pada salah satu bagian Alkitab dalam Perjanjian Lama Khususnya Yesaya 24 : 1,4,5.
(1)sesungguhnya, Tuhan akan menanduskan bumi dan akan menghancurkannya, akan membalikan permukaannya, dan akan menyerakkan penduduknya.
(4)Bumi Berkabung dan layu, ya, dunia merana dan layu langit dan bumi merana bersama
(5)Bumi cemar karena penduduknya sebab meraka melanggar undang-undang, mengubah ketetapan dan mengingkari perjanjian abadi

Dalam bagian Alkitab di atas tergambar jelas amarah dan murka Tuhan akan ciptaannya, yang telah menyalahi Ketetapan-ketetapannya. Menurut Prof. Dr. W. A. Roeroe ucapan-ucapan nabi Yesaya ini waktu umat Tuhan sedang mengalami pembuangan dari kerajaannya Yehuda ke Babilonia yang telah bangkit menjadi adikuasa abad ke-6 Sebelum Masehi. Penghukuman ini terjadi karena umat Tuhan telah lama melupakan akan ketetapan-ketetapan Nya, sehingga mereka mempraktekan atau melaksanakan ketidakadilan, memeras yang lemah, dan menguras alam demi kepentingan pribadi. Keserakahan dalam menjalani kehidupan telah menjadi bagian mereka. Semua itu dilakukan tanpa takut pada Tuhan sebagai maha pencipta, sehingga mereka bebas melakukan apa saja tanpa memperdulikan segala undang-undang, ketetapan dan perjanjian abadi. dari hal inilah mengapa murka Tuhan turun pada sendi-sendi kehidupan bangsa dan umat, kekalutan dan kekacauan terjadi, sehingga mereka menjadi sasaran empuk bagi bangsa lain untuk ditaklukan. Inilah yang terjadi bagi umat yang memang mengeraskan hati. maka, dari penghukuman ini Tuhan ingin memberikan suatu teguran bahwa apa yang terjadi pada mereka memang diakibatkan oleh sikap hidup mereka yang telah jauh dari Tuhan. Kesengsaraan yang mereka alami menimbulkan renungan-renungan, doa-doa pengampunan agar Tuhan mengembalikan kehidupan mereka dari pembuangan yang penuh dengan penderitaan (Mazmur 123 : 1, 3-4 ; 130, 1, dst)
jika melihat berbagai permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini yang dihubungakan dengan makna bagian Alkitab di atas, sebenarnya memberikan suatu ketegasan bahwa apa yang terjadi pada dunia dengan berbagai bencana alam yang dialami oleh manusia adalah karena ulah dari manusia itu sendiri yang tidak menaati berbagai ketetapan, aturan yang telah diberikan Tuhan, sehingga seluruh mahluk hidup (termasuk manusia) telah menjadi korban atas ketamakan manusia yang tidak ada batasnya atau manusia telah menyalahi kebebasannya.
Menurut hemat penulis pemikiran yang telah diuraikan di atas tadi merupakan salah satu landasan pijakan etika lingkungan, di mana manusia itu sendiri harus mengahargai alam sebagai sesama ciptaan Tuhan. Bahkan lebih konkrit lagi manusia sebagai mahluk yang bermoral harus memasukan mahluk yang non-manusia ke dalam perhatian moral manusia. Di mana kehidupan dari mahluk non-manusia bukan hanya dilihat sebagai perhatian dari manusia, melainkan lebih dari itu yaitu sebagai agen moral (moral agent). Pemahaman bahwa alam dilihat sebagai agen moral bagi manusia berimplikasi pada sikap dan prilaku manusia terhadap alam itu sendiri. Jadi seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa lemahnya pemahaman manusia terhadap alam akan berdampak pada sikap yang sewenang-wenang pada pengelolaan alam yang hanya berpusat pada manusia (Antroposentrisme). Karena sudah terlalu lama manusia mellihat bahwa alam hanya sebatas sarana, alat atau materi saja, sehingga alam ini tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.

Penutup
Oleh karena itu belajar dari pemikiran Pdtt. Prof. Dr. W. A. Roeroe yang telah diuraikan tadi, kita diingatkan untuk melakukan perubahan radikal atas pemahaman pada alam yang selama ini telah keliru. Sebagai manusia yang memiliki rasio kita dihantar untuk mampu mengelola ciptaan Tuhan ini dengan sebaik-baiknya, karena manusia sebagai pengemban amanat Tuhan untuk menjaga, mengelola bahkan melestarikan ciptaanNya dengan penuh tanggung jawab (Kejadian 2 : 15). Dan tentu saja amant ini membutuhkan pemberian diri manusia secara totalitas untuk menerima bahwa alam dan manusia diciptakan oleh Tuhan yang sama, bahkan lebih tegas lagi bahwa alam yang dahulu diciptakan oleh Tuhan, kemudian manusia (Kejadian 1), sehingga tidak ada alasan bagi manusia melakukan eksploitasi dengan tidak bertanggung jawab pada alam.
Dengan demikian, semua bentuk kesadaran, pengetahuan, tindakan dan sikap terhadap lingkungan hidup dan segala makhluk di dalamnya dikembalikan pada kita. Kita sebenarnya juga diajak untuk memulai suatu cara hidup baru yaitu dengan memberikan penghargaan terhadap lingkungan hidup dan makluk hidup lain yang ada di dalamnya sebagai sesama anggota komunitas kehidupan di bumi.

Refleksi; Lot pe anak cewe mengenang Mamanya


Refleksi; Lot pe anak cewe mengenang Mamanya








Abstract

The story about Lot, his wife and their two daughters is told in the Old Testament (Gen. 19:1-38); it is heavily dominated by gender biased expressions. If the story is read carefully, it becomes evident that Lot's wife and two daughters have been given very negative roles. In the story Lot's wife is depicted as a defiant woman. In her lift she more relies on wealth than on obedience to God. It is only appropriate that she receives God's punishment because of her disobedience. Lot is depicted as an ideal man before God, whereas his wife as a woman rebelling against God. In this article, Kiki Arthur tries to encourage his readers to read the story of Lot and his wife from the viewpoint of women. The way the writer retells the story gives the reader the strong impression that the negative picture painted about Lot's wife as we find it in the Bible is not fully acceptable. The calamity that befell Lot's wife is not due to God's punishment. This woman consciously choose destruction as she could not stand to live with Lot any longer, since her husband always acted unfairly toward women, including to her and her two daughters. Lot should not be set as an example, but rather his wife should.

Sewaktu bicara tentang sejarah dalam PL dikelas, maka Penginjil dari gunung ini, bercerita tentang perjalanannya pada saat berada di negeri dimana selalu disampai-sampaikan dalam PL (Israel)… Dari ceritanya terkesan sedikit menggelitik pada saat Pendeta yang senang makan di daong pisang dan suka sayor Gedi ini, mengatakan bahwa pada waktu disekitar laut mati, maka ada banyak patung dari batu karang yang mungkin mirip-mirip perempuan, katakanlah demikian yang dia dilihat oleh semua rombongan, lalu seorang pemandu mengatakan: “coba cari mana isteri Lot?”, karena semua batu itu sama, maka tak heran saat itu semua mungkin menerka-nerka dan mencari mana yang lebih mirip. Dari apa yang diceritakan tadi terkesan bahwa itu carita mati.
Walaupun carita mati, namun sangatlah menarik untuk dikisahkan kembali dalam nuansa yang berbeda. Saya sangat terkesan dengan kedua anak lot yang tidak banyak diceritakan. Barangkali kedua anak itu kurang penting juga diceritakan. Namun bolehkah saya kisahkan refleksi tentang kenangan anak perempuan lot terhadap mamanya ini sebagai berikut:
“Saya anak perempuan Lot”. Pasti banyak orang yang tidak tahu bahwa cerita tentang saya dan adik saya ada di dalam Kitab segala Kitab. Tindakan kami jelek sekali. Kami memberi ayah minuman beralkohol sampai ia mabuk supaya ia tidur dengan kami. Saya dan adik saya melacur. Ini perbuatan tidak terpuji. Orang-orang percaya laki-laki atau perempuan, sebaiknya jangan meniru kelakuan saya dan adik saya. Allah melarang hal itu. Melacur adalah dosa. Merusak harga diri pelakunya. Tentang hal itu, saya tidak mau mengungkit-ungkitnya lagi. Yang pasti, sejak kami melarikan diri dari Sodom hidup saya menjadi hambar. Saya merasa kehilangan orang yang sangat saya cintai dan hormati, ibu saya. Kamu tentu pernah dengar tentang ibu saya. Di Sekolah Minggu, riwayat hidup ibu saya cukup populer. Akhir hidupnya sangat tragis. Dalam pelarian ke Zoar, ia menoleh ke belakang. Pada saat itu juga, ia berubah menjadi tiang garam. Hampir semua anak tahu cerita itu. Mereka bahkan hafal di luar kepala nyanyian Sekolah Minggu tentang istri Lot yang menjadi tiang garam. Waktu itu ibu saya tidak taat kepada perintah dua malaikat Allah, karena itu ia dihukum. Saya akui itu kesalahan ibu saya. Akan tetapi, ceritanya tidak berakhir di situ. Ayah saya, Lot, juga melakukan kesalahan. Ia masih berlambat-lambat waktu disuruh malaikat-malaikat itu agar segera keluar kota Sodom. Ketidaktaatan ayah saya tidak dihukum. Permintaannya untuk diizinkan berlari ke Zoar juga diterima. Dengan ayah, Allah mau memberi kompromi, sedangkan dengan ibu, tidak. Allah dalam Kitab Segala Kitab sangat anti perempuan.


Cerita yang kamu baca dalam Kitab di Atas Segala Kitab tentang istri Lot, ibu saya, bukan dari saya. Itu ditulis oleh seseorang tentang dia. Penulis tidak tahu cerita tentang ibu saya. Buku harian ibu saya musnah bersama rumah dan semua milik kami di kota Sodom. Selain Saya yang pernah membaca buku harian itu, tidak ada orang kedua yang masih hidup yang tahu apa isinya. Saya heran mengapa si penulis tidak mewawancarai saya sebelum membuat redaksi akhir dalam cerita tentang ibu saya. Akibatnya, yang terbaca di situ tentang ibu saya lebih banyak yang negatif. Satu contoh yang paling menonjol ialah nama diri ibu saya sama sekali tidak disebut. Ia hanya dikenal sebagai istri Lot. Kamu tahu apa artinya? Hal itu berarti bahwa ayah-ayah dianggap lebih berharga daripada ibu saya. Tanpa laki-laki, perempuan adalah nobody. Ibu saya dikenal karena suaminya. Ini menyedihkan sekali. Pepatah yang mengatakan: "Suaminya dikenal di pintu-pintu gerbang, kalau ia duduk bersama-sama para tua-tua negeri" (Ams. 31:23) tidak punya arti sama sekali. Peran ibu saya yang digambarkan oleh pencerita sangat minim. Bagi penulis Kitab di Atas Segala Kitab, ibu saya adalah nobody padahal ibu saya sebenarnya adalah seorang noble woman. Tanpa ibu, penduduk Sodom dan Gomora pasti menyambut kami dengan cara yang sama seperti mereka menyambut dua malaikat Tuhan yang menginap di rumah kami pada malam terakhir kami di kota itu.
Seperti yang ibu tulis dalam buku hariannya, ia dan ayah mem¬bangun kemah mereka di luar tembok kota Sodom dan Gomora se¬telah mereka berpisah dengan Abraham. Tiap-tiap hari ayah harus pergi ke padang untuk melihat para hambanya yang menjaga ternak¬-ternak kami. Ia sama sekali tidak berminat mengenal orang-orang negeri itu. Ia menganggap mereka kafir. Tahu bahwa tidak mungkin hidup tanpa tetangga, ibu saya membangun hubungan baik dengan para istri penduduk Sodom dan Gomora yang ia temui setiap hari di pasar yang terletak di pintu gerbang. Pertemuan-pertemuan biasa meningkat menjadi saling kenal dan akhirnya terbentuklah persaha¬batan. Ibu pernah mengatakan: “Kalau kita datang ke suatu tempat dengan membawa persahabatan, kita akan memperoleh banyak sahabat“. Ayah dan ibu saya mulai diterima oleh penduduk negeri itu. Mereka bahkan diizinkan membangun perkemahan dekat tembok kota itu. Jasa Oom Abraham menyelamatkan raja dan penduduk kota Sodom dan Gomora mempercepat proses integrasi ayah dan ibu saya dengan penduduk negeri itu. Ayah dan ibu saya diberi tempat tinggal di dalam kota Sodom. Mereka dianggap sebagai saudara sendiri oleh penduduk di situ. Orang-orang perempuan di kota itu ramah dan suka membantu. Waktu ibu sakit, mereka datang menemani dan menolong dia. Waktu ibu hamil dan melahirkan saya, teman-teman¬nya membantu dia. Ada yang pergi mencari bidan, ada yang mem¬buat bubur, menimba air, dan memandikan saya serta ibu. Setelah cukup kuat, ibu bermaksud membayar jerih lelah mereka, tetapi mereka menolak. "Tolong-menolong adalah hal yang biasa di antara sahabat. Kalau kau membayar kami, itu berarti kau tidak menganggap kami sebagai sahabat." Begitulah jawaban para perempuan kota itu kepada ibu.
Waktu adik saya lahir, wanita-wanita itu ada di dekat ibu. Mere¬ka juga ikut mengawasi kami bermain bersama teman-teman di tanah lapang kota ketika kami berangsur-angsur besar. Pernah suatu waktu kekeringan menimpa kota tempat tinggal kami. Ibu-ibu harus berjalan berkilometer jauhnya untuk menimba air. Mereka membawakan juga air untuk kami. Ibu sangat terkesan dengan kebaikan hati kaum per¬empuan negeri itu. Mereka bukan orang "kafir" seperti yang sering dikatakan ayah. Apa kerja ayah? Menurut yang tertulis di dalam buku harian ibu, ayah tetap sibuk dengan domba-dombanya. Kalau ada waktu kosong ia selalu pergi ke rumah-rumah penduduk untuk mem¬beritakan Injil. Ia bilang pada ibu: "Supaya bisa diterima oleh pendu¬duk di sini, Injil perlu ditanamkan ke dalam hati mereka". Berbuat baik kepada tetangga, menolong mereka yang ada di dalam kesulitan, tidak ayah lihat sebagai bentuk pemberitaan Injil. Ia sama sekali tidak ambil peduli dengan hal-hal itu. Injil bagi ayah tidak ada sangkut--paut dengan kehidupan sehari-hari. Berdoa bagi pertobatan orang Sodom dan Gomora, menginjili mereka, adalah kesibukan pokok ayah. Dia bahkan tidak ada di rumah ketika saya dan adik saya lahir. Ia sedang mencari jiwa. Demi Injil, ayah rela mengorbankan istri dan anak-anaknya. Ayah bangga dapat melakukan itu. Ia lebih suka menjadi "hamba Tuhan" daripada menjadi suami dan ayah. Ibu tidak terima hal itu. Bagi ibu, pelayanan selaku hamba Tuhan tidak bisa dipertentangkan dengan tanggung jawab sebagai suami, ayah, bagi keluarganya dan sesama manusia bagi tetangga. Penginjilan harus dilakukan dalam bentuk tindakan dan perbuatan kasih yang nyata dan bukan sekadar khotbah berapi-api dan doa bertele-tele.
Sejauh mana metode penginjilan ayah berhasil dapat dilihat dari peristiwa berikut ini. Suatu hari, waktu itu malam sudah larut, ayah pulang dari penginjilan dengan membawa dua orang asing. Ayah mengajak mereka menginap di rumah kami. Mereka mengaku sebagai malaikat Allah, misionaris dari surga yang diutus ke Sodom dan Gomora. Mereka membawa salam dari Oom Abraham. Ibu benar-benar bingung dengan tamu-tamu itu. Ia harus menyiapkan makan malam bagi mereka, padahal tidak ada lauk-pauk lagi. Ibu menyuruh saya meminta ke rumah tetangga. Sambil makan, kedua tamu itu mengatakan kepada ayah bahwa penduduk kota ini jahat dan berdosa. Mereka datang untuk menghancurkan negeri ini dan penduduknya. "Mereka keterlaluan," kata ibu ketika mengomentari pendapat dua tamu itu. "Mereka utusan iblis, bukan utusan Allah¬, biasanya membawa keselamatan, persahabatan, bukan menghina dan mempersalahkan orang. Bayangkan, ribuan orang Sodom dan Gomora yang bersahabat dan menyambut kami para imigran dengan berbagai kemudahan, dibunuh dengan kata-kata yang keji itu. Mereka pura-pura tidak tahu bahwa makanan yang disantap itu adalah pemberian tetangga kami. Adakah orang jahat yang sudi memberi tumpangan dan makanan bagi orang asing?" Ibu benar-¬benar tidak percaya kalau kedua orang itu adalah malaikat Allah. Baginya mereka tidak lain dari nabi palsu yang menggunakan nama Allah dan agama untuk kepentingan-kepentingan pribadi. Ibu me¬mang percaya pada hari penghakiman, tetapi masa itu belum tiba. Sekarang adalah masa anugerah. Jika mereka benar datang dari Allah, mereka harus membawa berita pengampunan, bukan penghukuman. Ibu kecewa terhadap sikap ayah yang tidak menegur mereka, tetapi malah setuju dengan apa yang mereka katakan. Rupanya percakapan kedua orang tamu tadi didengar orang lain. Segera tersiar kabar tentang keangkuhan dua orang asing itu. Dalam sekejap saja telah berkumpul puluhan orang. Mereka mengepung rumah kami dan meminta agar kedua orang yang sombong itu diserahkan kepada mereka. Penduduk Sodom dan Gomora hendak memberi pelajaran kepada misionaris-misionaris yang tak tahu berterima kasih itu. Namun, ayah melindungi tamu-tamunya, sehingga orang banyak itu menjadi marah. Bisa dimaklumi kemarahan mereka pada ayah. Mereka menuduh ayah bekerja sama dengan orang-orang yang menghina mereka. Waktu mereka terus mendesak, ayah keluar untuk berbicara dengan mereka. Ibu terkejut dan marah sekali karena ayah justru menyuruh saya dan adik saya keluar melayani keinginan para preman itu sebagai pengganti dua temannya. Ia rela mengorbankan anak-anak gadisnya demi tamu-tamunya. Keselamatan kedua orang itu lebih penting daripada nyawa dua anak perempuannya. Ayah mengorbankan perempuan demi laki-laki. ibarat pepatah, kera di hutan dipangku sedangkan anak sendiri dicampakkan. Orang-orang Sodom dan Gomora yang dianggap jahat oleh dua misionaris itu, ternyata mengenal kasih. Mereka tidak mau membalas kebaikan dengan kejahatan. Usul ayah untuk mengorbankan anak perempuan¬nya ditolak. Mereka menuntut orang yang kurang ajar, bukan orang yang berbuat baik terhadap mereka. Benarlah apa yang pernah dikatakan ibu: "Kalau kita datang ke suatu tempat dengan persahabat¬an, kita akan menemukan banyak sahabat, sebaliknya kalau kita membawa permusuhan, kita akan memperoleh banyak musuh".
Malam itu adalah kali terakhir ibu berbicara dengan ayah. Seperti biasa setiap kali ayah pulang ke rumah, mereka bertengkar lagi. Ibu kecewa kepada ayah karena menomorduakan rumah tangga dan keluarga, sedangkan ayah menuduh ibu tidak mendukung pelayan¬annya sebagai hamba Tuhan. Ibu memang tidak ingin menyelamatkan diri sendiri. Ia bukan orang oportunis. Ia mengikuti perintah kedua orang yang menyebut dirinya malaikat karena tidak ingin ayah kehilangan muka. Ibu tetap menghormati ayah sekalipun ayah tidak pernah mempedulikan dia. Itu sebabnya ia menoleh ke belakang di pertengahan jalan menuju ke Zoar. Ia ingin mati bersama para ibu lain yang ada di kota Sodom dan Gomora. Ia solider dengan nasib sahabat-sahabatnya. Mereka baik sekali terhadap ibu. Ia tidak tega mengkhianati kasih mereka. Ia tidak ingin meniru kebanyakan orang yang lari meninggalkan negeri tempat mereka menetap pada masa sulit. Saya kira, sikap ayah terhadap keluarga, ibu, saya, dan adik saya selama kami tinggal di Sodom dan Gomora, ikut menentukan keputusan ibu untuk menoleh ke belakang . Apa mungkin bisa dikatakan dalam kalimat kiasan “Pake kwa itu otak deng hati” jangan cuma pake mulu deng kaki ” .
Bagaimana dengan kita sekarang, apakah kita juga ikut menentukan keputusan TUHAN Allah untuk menghukum umat di daerah ini karena tidak ada wujud kasih dalam kebersamaan kita di gereja kita ini? Mari kita renungkan bersama.

Kesan

Memang perlu juga mengkisahkan sisi lain dari kehidupan Tete Willie, yang mana banyak kali memberi inspirasi... karena itu tugas kitalah gererasi muda untuk mengenang kembali apa yang sudah pernah disampai-sampaikannya... untuk kiranya menjadi kajian kita bersama guna kemajuan dari upaya berteologi seperti yang sering dikatakannya, baik di kelas PPsT UKIT dan juga di berbagai kesempatan.
Bagitu dulu jo... kong slamat jo... hari jadi ke-76. Kiranya Tete Manis slalu kase sehat pa tete Willie.

Wa’salam mualaikum, bahclam

Penyunting
Kiki Arthur

Ecumenism and Ecology in Contex Indonesia


Name : Endra A. E. Walangitan
Delegate : PPsT UKIT
Instructor : Dr. Hope S. Antone

Ecumenism and Ecology in Contex Indonesia
Pendahuluan
Telah lama menjadi pemahaman bagi orang Kristen, bahwa jika berbicara tentang ekumene bahwa itu menunjuk pada suatu sikap bagaimana gereja melakukan usaha untuk mempersatukan visi dan missi dalam melaksanakan amanat agung dari Allah di tengah-tengah dunia ini, sebagai satu rumah dan hidup bersama. Dari hal ini maka ekumenisme dilihat juga sebagai suatu otoritas Allah yang mengikat seluruh orang Kristen untuk melakukan satu kesatuan dalam satu rumah (dunia) dengan melihat permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di tengah umat. Namun, saat ini berbagai masalah muncul yang sangat terkait erat dengan kehidupan masyarakat. Salah satu permasalahan itu adalah masalah ekologi. Berbagai macam bencana alam telah terjadi, bahkan saat ini juga telah menghangatnya fenomena tentang pemanasan global, sebagai dampak dari sikap manusia yang tidak menghargai akan alam. Maka dari hal ini sangat penting dari kita untuk mengangkat suatu visi ekumenis yang lebih luas dan baru, yang berangkat dari permasalahan ekologi. Hal ini sebagai usaha untuk mempertemukan visi dan misi kesatuan sebagai gereja dalam mencari solusi dari permasalahan ekologi yang memang mengancam kelestarian dari seluruh mahluk hidup yang tinggal di bumi ini.
Isi
Gereja selaku persekutuan orang percaya tidak hanya bertanggung jawab untuk mewujudkan persekutuan di antara sesama manusia, tetapi juga dengan lingkungan. Selama ini ekumene hanya dimengerti sebagai hubungan interdenominasi gereja, padahal arti kata oikos menunjuk pada bumi sebagai tempat tinggal (habitat). Habitat adalah inti makna dari semua kata eko ;ekonomi, ekologi, dane kumenesitas. Oleh karena itu, tujuan ekumene tidak bisa lagi terbatas pada usaha pembentukan Gereja Kristen yang Esa atau menciptakan hubungan yang harmonis di antara orang Kristen, tetapi harus menjangkau wawasan yang lebih luas, sesuai dengan arti dan makna yang terkandung dalam kata ekumene, yaitu dunia atau kosmos ini secara keseluruhan, khususnya hubungan dengan seluruh ciptaan. Ted Peters membedakan antara kata ecumenical dan kata ecumenic, yang akar katanya sama yaitu oikos, tetapi maknanya berbeda. Kalau ecumenical berbicara tentang kesatuan iman, maka ecumenic berbicara tentang kesatuan manusia dengan segala sesuatu yaitu dengan semua realitas ciptaan Allah. Akan tetapi, keduanya mempunyai hubungan sebab kesatuan iman harus mempunyai implikasi terhadap kesatuan dengan seluruh ciptaan.
Banyak tradisi keagamaan, termasuk Yudaisme dan Kekristenan, memahami inti penciptaan sebagai tempat tinggal Allah di dalamnya. Ciptaan adalah tempat kehadiran Allah. Jadi, kata oikos menunjuk pada rumah tempat kehadiran dan kediaman Allah. Allah ada "rumah" di sini, sebagaimana kita. Jadi dalam mengelola alam, maka kita harus sejalan dengan Ekonomi Allah. Kita adalah rekan sekerja Allah (householders) dalam menatalayani (oikodomeo) dunia. Di sinilah peran gereja mendapat tempat. karena gereja merupakan bagian dari earth habitat. Sebagai bagian darinya, maka gereja terpanggil untuk terlibat aktif dalam kesatuan dengan bagian-bagian lain dari keseluruhan kehidupan.
Jika keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus dipahami sebagai keselamatan untuk seluruh ciptaan, maka gereja terpanggil tidak hanya untuk menyatakan koinonia dengan sesamanya manusia, tetapi juga dengan sesama ciptaan. Ted Peters juga mengingatkan bahwa gereja harus melaksanakan pendamaian dalam rangka menghadirkan Kerajaan Allah. Dan sejalan dengan hal ini, Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD) memahami pendamaian dan pembaruan ciptaan sebagai tujuan dari misi gereja. Sudah sejak tahun 1968 dalam Sidang Raya IV DGD di Upsala, Swedia, DGD membahas perhatian dan tanggung jawab gereja-gereja terhadap lingkungan hidup. Sedangkan, di Indonesia sendiri, baru dalam Sidang Raya XI PGI di Surabaya tahun 1989, dikukuhkan secara eksklusif pengertian pemberitaan Injil yang mencakup usaha pelestarian lingkungan hidup.
Selain sebagai bagian dari tugas pemberitaan Injil, tugas pengelolaan dan pemeliharaan serta pelestarian lingkungan hidup menjadi salah satu dasar bagi gereja-gereja di Indonesia untuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional yang mencakup seluruh elemen. Bagi gereja-gereja di Indonesia, terdapat suatu permasalahan tersendiri dalam usahanya untuk menjadi penatalayan dunia. Pertama, gereja-gereja di Indonesia masih terkotak-kotakan dalam berbagai denominasi, di mana masing-masing denominasi memiliki concern tersendiri. Kedua, konsep ecumenic sendiri belum begitu populer di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk lebih menggugah kesadaran gereja-gereja di Indonesia akan perannya menjadi penatalayan dunia melalui berbagai cara, mis: diskusi teologis, proyek kerjasama mengenai pelestarian lingkungan hidup.
Sementara itu tantangan lain yang dihadapi oleh gereja-gereja di Indonesia adalah pluralisme agama. Seharusnya kenyataan ini bukanlah penghambat bagi gereja untuk menjadi penatalayan dunia, tetapi malah merupakan sebuah peluang bagi gereja-gereja di Indonesia untuk membina kerjasama dengan para pemeluk agama lain untuk bersama-sama menjadi penatalayan dunia, karena mereka pun adalah bagian dari earth habitat. Memang hal ini tidak mudah, karena harus ada kesamaan visi di antara kita yang memang peduli terhadap alam.

Agama dan Demokrasi : Mungkinkah?


Agama dan Demokrasi : Mungkinkah?

Oleh : Pdt. Prof. Dr. John A. Titaley

Pengantar
Pokok bahasan ini menarik karena saat ini bangsa Indonesia sedang berada dalam proses pemilihan umum, sebagai suatu bagian hakiki dari kehidupan berdemokrasi, dan dalam proses pemilihan umum itu ada banyak partai yang menjadikan agama sebagai asas partainya, artinya tujuan kiprah politik partai-partai tersebut didasarkan pada ajaran-ajaran agamanya. Pertanyaan yang patut dikemukakan dalam situasi seperti itu adalah, apakah agama sejalan dengan demokrasi? Apakah agama memang dapat menjamin kehidupan manusia yang demokratik? Apakah agama dan demokrasi dua hal yang dapat berlangsung bersamaan atau sebaliknya?

Untuk membahasnya, pertama-tama akan dibahas terlebih dahulu pengertian demokrasi, lalu agama. Sesudah itu barulah kedua hal ini dapat dikaji secara kritis.

Demokrasi: Bentuk Kehidupan Bersama Yang Manusiawi
Demokrasi berasal dari dua kata Yunani, yaitu demos dan kratein. Demos berarti orang banyak dan kratein berarti memerintah. Jadi demokrasi adalah suatu sistem politik yang di dalamnya orang (-orang) dari suatu negara memerintah melalui bentuk pemerintah yang mereka pilih. Dalam sejarahnya, demokrasi pertama-tama muncul di Yunani terutama dalam kehidupan di negara-kota. Dalam bentuk awalnya, demokrasi terjadi secara langsung. Rakyat yang memiliki hak politik, terlibat langsung dalam pertemuan-pertemuan publik dan memberikan suaranya yang turut menentukan kehidupan bersama negara-kota itu. Ini bisa terjadi karena jumlah penduduk dalam suatu negara-kota tidaklah banyak. Dalam perkembangannya kemudian, kehidupan demokrasi berlangsung lewat perwakilan, melalui wakil-wakil yang dipilih rakyat banyak.

Dalam bentuk awalnya, demokrasi bukanlah hak semua rakyat, akan tetapi terbatas pada orang-oang tertentu saja. Para budak dan perempuan, tidak termasuk yang memiliki hak politik itu. Karena pengaruh agama Yahudi dan Kekristenan yang memberi perhatian kepada orang-orang tersisih dan kesamaan semua manusia di hadapan Tuhan, maka hak-hak politik itu diberikan pula kepada semua orang, termasuk perempuan.

Demokrasi Yunani yang terbatas seperti di atas berkembang sampai runtuhnya Romawi. Pada masa Abad Pertengahan sebelum terjadinya Renaissance dan Reformasi, demokrasi pada dasarnya tidak berkembang, terutama ketika terjadinya era Kekristenan. Pada era tersebut, agama Kristen berhasil mendominasi berbagai aspek kehidupan masyarakat, sehingga kebebasan manusia tidak bisa berkembang seluas-luasnya. Gereja, terutama para pemimpinnya sangat berpengaruh dalam menentukan arah kehidupan bermasyarakat. Teologi sebagai suatu disiplin keilmuan lalu ditempatkan sebagai ratu dari Ilmu Pengetahuan. Era ini dalam sejarah gereja disebut sebagai Era Konstantin (Constantinian Era). Pada tahap itu, demokrasi tidaklah berkembang. Kehidupan bermasyarakat lebih berbentuk monarki-teoktratik. Monarki karena para rajalah yang berkuasa atas kehidupan banyak orang. Teokratik, dalam pengertian bahwa para raja yang berkuasa itu dikuasai oleh para pemimpin agama (Gereja), sehingga mereka harus menjalankan ajaran-ajaran agama (gereja) dalam kehidupan bermasyarakat. Pada tahap itulah demokrasi tidak terwujud.

Perubahan baru terjadi ketika kewenangan mutlak para pemimpin gereja dipersoalkan oleh Reformasi yang dilakukan oleh Marthin Luther di Jerman tahun 1517. Ketika kewenangan mutlak para pemimpin agama itu sudah diruntuhkan dan diimbangi dengan masa Renaissance, yaitu masa perkembangan seni yang mencerminkan kebebasan berekspresi manusia, maka dominasi agama (gereja) terhadap kehidupan manusia mulai menyusut. Hal ini semakin diperkuat dengan munculnya masa pencerahan, ketika manusia mulai menghargai kemampuan akal (reason), ilmu pengetahuan dan penghargaan terhadap kemanusiaan. Masa ini dipahami sebagai masa baru setelah mereka melewati berabad-abad masa kegelapan dan ketidaktahun (ignorance). Pencerahan ini mendominasi abad 18 dan memuncak dengan Revolusi Perancis. Pada abad 19 dan 20, pencerahan mewariskan sekularisme yang menghasilkan liberalisme dan sosialisme. Berakhirnya dominasi agama (gereja) itu menandai berakhirnya era konstantin, dan mulainya era demokrasi.

Perkembangan demokrasi ini di Eropa juga terjadi sehubungan dengan semakin kuatnya kekuatan ekonomi warga masyarakat akibat revolusi industri. Sebelumnya yang menjadi orang kaya di Eropa terutama adalah para raja dan keluarga raja. Dengan revolusi industri, maka orang kaya sudah tidak dapat dibatasi hanya pada para raja dan keluarga mereka saja, melainkan juga pada pengusaha yang sukses, terutama pengusaha wool di Inggris.

Akibat dari semakin kuatnya posisi ekonomi warga masyarakat itu, lalu mereka meminta keterlibatan mereka dalam mengatur kehidupan bersama, dan tidak bisa hanya menerima kekuasaan raja saja sebagai satu-satunya penguasa dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam menetapkan pajak. Lahirlah parlemen sebagai badan yang patut didengar oleh raja sebelum membuat kebijakan baru bagi rakyatnya. Perjuangan melawan pemerintahan otokratik para raja ini di Inggris untuk pertama kalinya terjadi melalui pemberontakan rakyat terhadap kekuasaan raja dalam proses demokratik ini tahun 1642 ketika raja Charles I menentang wewenang parlemen dan akhirnya dia harus dieksekusi (dihukum gatung) oleh parlemen, karena dianggap menentang rakyat.

Pada pertengahan abad 20, hampir semua negara di dunia telah menganut sistem demokrasi ini, kecuali beberapa yang masih tinggal dalam bentuk pemerintahan yang lama. Sekalipun prakteknya belum terjadi seperti yang diharapkan, akan tetapi secara prinsip mereka menyetujui sistem demokrasi ini. Persetujuan ini terjadi Karena demokrasi memiliki beberapa prinsip dasar yang disukai, yaitu kebebasan individu, yang memberikan kepada individu suatu kebebasan dan tanggungjawab dalam mengembangkan karier dan kehidupan mereka sendiri; kesetaraan di depan hukum dan hak memilih dan mendapat pendidikan secara universal. Hak-hak seperti itu sudah dicantumkan dalam dokumen-dokumen besar seperti The Declaration of Independence AS, The French Declaration of the Rights of Man and of the Citizen, dan Atlantic Charter.

Demokrasi ini bisa berkembang dengan cepat selain didukung oleh kekuatan ekonomi rakyat, terutama oleh pemikiran-pemikiran para filosof terhadap kehidupan manusia, terutama pemikir dari Perancis seperti Montesquieu dan Rosseau, dan Jefferson dan Madison di Amerika Serikat. Karenanya, untuk memahami dengan baik pemikiran mereka tentang demokrasi, ada baiknya kita simak pemikiran mereka, terutama Rosseau yang sangat cocok bagi konteks Negara seperti Indonesia.

Dalam tulisannya Kontrak Sosial, Rosseau mengatakan suatu kehidupan bersama manusia dapat terjadi dalam dua wujud, yaitu wujud state of the nature (kehidupan secara alami) dan civil state (kehidupan secara sipil, tidak alami akan tetapi disepakati bersama-sama oleh manusia cara hidup bersama itu). Dalam tahapan state of the nature, kecenderungan yang terjadi adalah munculnya orang-orang kuat tertentu yang berhasil menundukkan dan menguasai sesama manusia lainnya dan memerintah sebagai raja atas sesamanya. Inilah yang menghasilkan monarki yang berkepanjang dalam sejarah umat manusia. Raja ini adalah raja yang dipahami berkuasa atas manusia dan segala harta bendanya, sehingga ia menjadi penguasa tunggal atas rakyatnya. Akibatnya, sesama manusianya hanya bisa tunduk dan taat kepada sang raja itu dan manusia itu kehilangan kebebasan individu dan hak atas harta bendanya. Manusia ini hanya bisa jadi budak yang tak berdaya bagi sang raja. Dalam situasi seperti ini, jaminan kebebasan individu dan hak individualnya hilang sama sekali. Hukum rimba yang berlaku dalam situasi seperti ini.

Civil state sebaliknya, adalah bentuk kehidupan bersama manusia yang tidak didasarkan atas kekuatan satu orang atau satu kelompok orang tertentu, tetapi didasarkan pada penghargaan terhadap hak-hak individu untuk mendapatkan kebebasan individunya dan kehidupan yang layak. Kehendak untuk mendapat kehidupan yang layak itu disebutnya sebagai general will (kehendak umum). General will inilah yang harus menjadi acuan kehidupan bersama itu. Untuk menjamin tercapainya general will itu, manusia membuat kontrak sosial di antara mereka sendiri untuk menyerahkan sebagian wewenang mereka kepada suatu pemerintahan untuk mengatur dan menjamin kehidupan bersama itu. Pemberian sebagian wewenang itu dilakukan lewat suatu proses demokratik, yaitu melalui pemberian suara kepada orang-orang tertentu yang dipercayai masyarakat. Dalam pemberian suara itu (proses demokratik) itu ada kemungkinan terjadi suara yang terbanyak. Suara terbanyak ini oleh Rosseau disebut sebagai the will of all (kehendak kebanyakan). The will of all ini sesuatu yang wajar saja dalam suatu proses demokratik. Yang tidak boleh terjadi adalah bahwa the will of all ini dianggap mewakili semua masyarakat, sehingga dinilai dapat menggantikan the general will itu. Kalau ini yang terjadi, maka yang tercipta bukan lagi civil state, tetapi state of the nature. Ini hukum rimba dalam bentuk kelompok, bukan lagi individu seperti jaman monarki dulu. Kalau sudah terjadi hukum rimba, maka proses dan bentuk kehidupan seperti itu tidak dapat lagi disebut demokratik. Karena itu, demokrasi bukanlah bentuk kehidupan berdasarkan suara mayoritas saja. Demokrasi adalah bentuk kehidupan bersama yang menjamin kebebasan dan hak setiap individu, entah dia berada dalam kelompok mayoritas, atau pun dalam kelompok minoritas.

Demokrasi dengan demikian merupakan bentuk kehidupan bersama yang menolak kesewenangan, entah yang muncul dalam diri individu (raja) atau pun juga kelompok. Demokrasi dengan demikian bukanlah suatu majorocracy, pemerintahan yang dijalankan sekedar berdasarkan perolehan suara mayoritas saja. Karenanya, setiap bentuk mayoritas tidak selalu berarti baik dalam kehidupan demokrasi.

Agama: Suatu Yang Ilahi?
Abad 21 menandai dimulainya suatu era baru dalam kehidupan umat manusia. Disebut era baru, karena sebagaimana halnya dengan abad-abad sebelumnya, selain dia merupakan suatu penggalan waktu yang penting, yaitu awal dari suatu millennium, dia juga merupakan suatu masa ketika perkembangan pengetahuan dan kemampuan teknologi manusia bagaikan suatu loncatan melejit, jika dibandingkan dengan pengetahuan dan kemampuan teknologi manusia abad-abad sebelumnya. Hal ini terjadi sehubungan dengan berkembangnnya kemampuan akal manusia setelah melewati masa-masa pencerahan dan sekularisasi. Apa yang dahulu hanya dapat dipahami sebagai mujizat atau sesuatu yang mustahil, kini dapat terjadi sebagai sesuatu yang biasa saja. Dalam hal itu, agama yang dahulu dianggap jawaban atas semua ketidaktahuan manusia, kini telah tersingkap oleh kekuatan akal manusia. Dahulu hanya Tuhan sajalah dipahami sebagai Pencipta, kini manusia juga adalah pencipta-bersama Tuhan (co-creator). Dengan pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya, manusia kini telah bisa mendarat di bulan. Manusia kini telah dapat mengamati dalam keterbatasannya, gejala alam yang terjadi di angkasa luar; gejala-gejala letusan gunung berapi; badai yang akan terjadi di suatu tempat tertentu; manusia telah dapat membuka tabir penyakit ayan yang dahulu hanya dipahami terjadi karena adanya kuasa gelap dalam diri seseorang, bahkan kini sudah dapat mengatasinya; dan manusia kini bahkan sudah dapat menciptakan manusia lainnya dengan teknologi cloning. Apa yang dimiliki manusia kini adalah suatu kosmologi dan peradaban yang berbeda sama sekali dengan kosmologi dan peradaban manusia abad-abad sebelumnya.

Dalam era perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia yang sedemikian pesat itu, pertanyaan yang timbul kemudian adalah, masih adakah peran agama dalam kehidupan manusia itu? Kalau masih, peran dan kedudukan seperti apakah yang dapat dimainkan oleh agama? Apakah agama-agama seperti yang dianut manusia kini masih penad bagi kehidupan manusia abad 21 itu?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang perlu ditelaah secara sungguh-sungguh, kalau agama masih hendak dilihat perannya dalam kehidupan manusia abad 21 itu. Dalam kerangka itulah, saya akan membahas persoalan ini lewat suatu tinjauan terhadap Kekristenan. Secara khusus perhatian akan diberikan kepada Kitab Suci orang Kristen yaitu Alkitab, yang selama ini telah dijadikan acuan satu-satunya bagi kehidupan manusia, kalau tidak dapat dikatakan telah dijadikan berhala oleh orang Kristen, seolah-olah Tuhan telah digantikan oleh Alkitab itu. Dengan analisis yang cukup terhadapnya, diharapkan dapat dijawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan baik.

Hal ini perlu dilakukan karena tahun 2003 lalu kita baru saja mengalami peristiwa yang cukup menghebohkan dalam kehidupan beragama dengan kenyataan kelompok Pondok Nabi di Bandung. Sekelompok umat Kristen yang tergabung dalam Pondok Nabi telah mempersiapkan diri menyambut kedatangan kiamat. Dalam pemahaman mereka, merekalah yang akan diangkat Tuhan ketika kiamat itu terjadi. Pemahaman ini terjadi karena pemimpinnya, Pdt. Sibuea yakin bahwa Roh Kudus telah berbisik kepadanya melalui doa dan puasa selama 40 hari bahwa kiamat akan terjadi tanggal 10 November 2003 di Bandung dan hanya dia bersama para pengikutnya sajalah yang akan diangkat ke surga. Pemahaman terhadap kiamat ini diperolehnya dari Alkitab. Pada tanggal 10 November 2003, kiamat tidak terjadi dan kelompok tersebut dibubarkan aparat keamanan setempat.

Kasus ini menunjuk kepada kenyataan bahwa yang dipahami manusia sebagai yang berasal dari Tuhan (Roh Kudus) teryata salah. Lebih tepat, itu merupakan interpretasi Pdt. Sibuea terhadap sesuatu yang tidak jelas, yang dianggapnya berasal dari Tuhan. Ketika dalam kenyataannya hal itu tidak terjadi, pertanyaannya adalah apakah itu memang suara Tuhan? Kalau bukan suara Tuhan lalu suara apa? Apakah Tuhan memang selalu berfirman secara langsung seperti terjadinya percakapan langsung antara dua orang?

Dalam kenyataannya tidak demikian. Kalau memang Tuhan berbisik kepada Pdt. Sibuea, yang menarik untuk diketahui adalah dengan menggunakan bahasa apakah Tuhan berfirman? Bahasa Batak atau bahasa Indonesia (bahasa budaya Pdt. Sibuea)? Bahasa Ibrani atau Yunani (bahasa-bahasa Alkitab Pdt. Sibuea)?

Tuhan tidak berkomunikasi dengan manusia secara langsung seperti halnya dua orang berkomunikasi. Yang terjadi biasanya adalah bahwa manusia hanya bisa menafsirkan sesuatu yang berasal dari Tuhan itu, dan pemahaman itu baru akan diketahui beberapa waktu kemudian, ketika sejarah kehiduoannya kenunjukkan kebenaran tafsiran tersebut. Kalau tidak benar, ya bukan dari Tuhan. Jadi hubungan itu sesuatu yang sifatnya misterius!

Dalam tradisi iman Kristen, pedoman seperti itu yang dinilai berasal dari Tuhan lalu ditujukan kepada Alkitab. Lalu terjadilah Alkitab dijadikan acuan satu-satunya. Pertanyaan berikutnya, benarkah pemahaman itu?


Alkitab: Satu-Satunya Sumber Kekristenan?
Tidak kita sadari bahwa kedudukan dan peran Alkitab dalam kehidupan Kekristenan sudah sedemikian besarnya kini. Kita tidak bisa hidup secara Kristiani tanpa Alkitab. Kekristenan telah sangat mengistimewakan Alkitab, sehingga kedudukannya dalam kehidupan Kekristenan seolah telah menggantikan kedudukan Tuhan. Tuhan hanya dapat dipahami sebatas apa yang dikatakan Alkitab tentang Tuhan. Akibatnya, tanpa terasa Tuhan telah dibatasi oleh pernyataan-pernyataan yang ada dalam Alkitab. Masalahnya, apakah Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Besar itu benar-benar dapat dibatasi oleh Alkitab? Hanya sebesar itukah saja Tuhan itu? Siapakah manusia yang dapat mengatakan bahwa hanya sebatas itu sajalah Tuhan itu? Apakah kewenangan manusia membatasinya seperti itu?

Dalam kehidupan beragama, juga dalam Kekristenan, manusia berhubungan dengan Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Besar itu. Manusia-manusia tersebut percaya bahwa Tuhan itu ada dan Tuhan itu riel. Dia bukannya suatu rekaaan manusia belaka. Kalau benar dia rekaan manusia, maka betul kata Marx, bahwa Tuhan itu diciptakan manusia. Sebenarnya Dia tidak ada, akan tetapi karena kebutuhan manusia, manusia menciptakan Dia. Tentu tidak demikian pemahaman kita tentang Tuhan dan kehendakNya.

Yang jadi masalah, apakah memang Tuhan dan kehendakNya itu sudah dipahami manusia secara sempurna dan tepat, sehingga ketika digambarkan keberadaan dan kehendakNya dalam Alkitab, manusia telah dapat menyatakannya dengan sempurna dan tepat pula? Berikut ini beberapa contoh dari Alkitab yang diharapkan dapat membantu kita memahami persoalan yang saya maksudkan.







Menurut Kejadian 1: 1 – 2: 4b berdasarkan terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), Tuhan menciptakan langit dan bumi serta segala isinya dalam waktu enam hari. Pada hari ketujuh Dia beristirahat dan menguduskannya seolah itulah hari sabbath. Ada beberapa masalah dengan cerita ini bagi orang di abad 21.

Kej 1: 6: Berfirmanlah Allah “Jadilah cakrawala di tengah segala air untuk memisahkan air dari air.”
Kej 1: 7: Maka Allah menjadikan cakrawala dan Ia memisahkan air yang ada di bawah cakrawala itu dari air yang ada di atasnya. Dan jadilah demikian.

Dari bagian cerita penciptaan ini kita memahami bahwa cakrawala itu memisahkan air yang ada di bawah dan air yang ada di atas cakrawala itu. Bagi orang abad 21 air yang ada di bawah cakrawala itu adalah lautan yang luas. Lalu air yang ada di atas cakrwala itu yang mana? Hujan? Hujan hanya ada dalam bentuk awan mendung yang karena perbedaan tekanan udara melahirkan butir-butir air yang turun dalam bentuk hujan. Di atas cakrawala tidak ada air. Kalau benar ada, tentu Apollo 21 atau pesawat ulang-alik akan tenggelam dalam air di atas cakrawala ketika mereka terbang menembus cakrawala (atmosphere?), sehingga Neil Amstrong tidak bisa menginjakkan kakinya di bulan. Lalu air yang mana yang dimaksudkan dalam cerita ini? Manusia abad 21 akan kesulitan memahami kosmologi seperti dalam Kejadian 1 ini. Langit dan bumi yang mana yang diciptakan Tuhan itu? Lalu pertanyaan berikut yang akan muncul, benarkah alam semesta ini bisa diciptakan hanya dengan berfirman (berkata-kata mengucapkan mantera) dan semuanya terjadi dalam waktu enam hari?

Gambaran dunia (kosmologi) seperti ini akan sulit dipahami oleh orang abad 21 yang setiap kali bisa menyaksikan lewat televisi, bagaimana suatu pesawat angkasa luar terbang ke atas langit dan menembus langit itu (cakrawala?) dan tidak menemukan air, bahkan suatu ruang hampa ternganga sedemikian luasnya, sehingga bumi kita ini terasa kecil bagai salah satu bulan dari berbagai macam bulan dan bintang yang ada di angkasa luar itu. Bahkan mataharinya bukan cuma satu, melainkan beribu-ribu.tak terkirakan. Ada kesulitan besar bagi orang abad 21 menerima cerita seperti itu sebagai cerita asal-usul bumi dan isinya.

Di atas saya katakan bahwa itu terjemahan versi LAI. Kalau cerita diterjemahkan dari naskah bahasa Ibraninya, bisa menghasilkan terjemahan yang berbeda. Misalnya Kej 1: 1. LAI menterjemahkannya sebagai berikut

Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.

Ayat itu dapat pula diterjemahkan lain, misalnya, karena kata bereshit (Ibrani) dan bara (Ibrani) bisa memiliki arti lain pula. Bereshit bisa berarti pula hal-hal pertama, pertama kalinya. Sedangkan bara bisa berarti pula memisahkan, membedakan. Kalau diterjemahkan dari sisi itu, maka terjemahannya kira-kira akan seperti ini

Hal pertama yang Allah pisah-pisahkan dari langit dan bumi.

Terjemahan seperti ini sama sekali tidak bicara tentang penciptaan langit dan bumi seolah-olah sesuatu yang belum ada lalu menjadi ada (creatio ex nihilo). Dia berbicara tentang sudah ada langit dan bumi yang tercampur tak keruan tanpa ada aturannya (tak tertib), sehingga harus dipisahkan (ditertibkan). Secara simbolik terjemahan seperti ini akan lebih dapat diterima kalau, latar belakang cerita seperti ini bisa dipahami oleh manusia abad 21.

Hal yang sama pula terjadi dengan cerita tentang doa Yoshua yang memberhentikan matahari dalam Yoshua 10: 12-13. Karena ayat-ayat ini, maka Galileo Galilei dihukum gereja karena ajarannya yang sejalan dengan Copernicus yang mengatakan bahwa bukan matahari yang berputar mengelilingi bumi, tetapi sebaliknya yang benar, oleh gereja berdasarkan ayat-ayat ini dinyatakan salah. Ternyata di kemudian hari berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ajaran Galileo dan Copernicus itulah yang benar, dan gereja menyadari kesalahannya. Yang terjadi dalam peristiwa ini pada abad 16-17 itu adalah adanya dua pandangan tentang dunia (kosmologi) yang berbeda, yaitu kosmologi Alkitab dan kosmologi ilmu pengetahuan modern. Dari peristiwa ini sudah menjadi jelas bahwa kosmologi Alkitab sudah tidak memadai lagi bagi manusia modern dan manusia abad 21 yang kosmologinya sudah berkembang sangat jauh, meninggalkan kosmologi Alkitab.

Bukan saja, kosmologi yang berbeda, akan tetapi peradaban juga berbeda. Misalnya dalam kitab Imamat 11: 7 yang di dalamnya disebutkan bahwa babi hutan adalah binatang yang haram, karenanya tak boleh dimakan (cf Ulangan 14:8). Babi juga dalam Perjanjian Lama (PL) dikategorikan sebagai binatang jijik dan karenanya haram seperti yang ada dalam Yesaya 65:4 dan 66; 17. Bagi kebanyakan orang Kristen di Maluku ini, adakah babi hutan atau babi itu binatang haram? Termasuk dalam larangan itu adalah kelinci. Nyatanya larangan itu telah tidak berlaku lagi.

Hal yang sama pula dengan pandangan PL tentang perempuan yang datang bulan. Imamat 15 dengan tegas mengatakan bahwa perempuan yang demikian adalah najis, dan semua yang disentuhnya menjadi najis pula. Dia baru akan kudus kalau tidak mengeluarkan darah lagi. Idealnya, perempuan itu tidak boleh mengeluarkan darah, yang berarti harus hamil, dan itu tidak lain dari pada harus melahirkan anak saja. IOtu idealnya. Dalam dunia modern kini perempuan yagiodeal bukan lagi yang harus melahirkan saja. Bahkan tidak perlu melahirkan pula bisa memiliki anak.

Kita akan mengatakan bahwa yang dalam PL itu sebagi bagian dari Torat, sudah digenapi oleh kematian Yesus Kristus, sehingga tidak lagi menjadi karangan dalam PB. Kalau demikian halnya, bagaimana dengan ayat-ayat dalam PB yang secara kosmologis dan peradaban sulit dipahami manusia abad 21?

Paulus yang dengan keras mengatakan dalam surat Galatia 3: 28 bahwa torat sudah digantikan oleh anugerah Tuhan dalam keselamatan manusia, sehingga tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, justru dalam suratnya kepada jemaat di Korintus mengatakan dalam I Korintus 14: 34-35 bahwa perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan jemaat, sebab mereka tidak diperbolehkan berbicara. Kalau mau tahu sesuatu, tanyakan kepada suami mereka di rumah. Tidak sopan bagi perempuan berbicara dalam pertemuan jemaat. Bahkan lebih dari pada sekedar berdiam diri, Paulus yang sama juga dalam I Korintus 11: 5 -13 yang menghendaki agar kalau perempuan berdoa atau bernubuat haruslah ia berkerudung. Dalam kebanyakan gereja ketika bukan hanya perempuan itu harus berdiam diri dan menanyakan kepada suaminya sesuatu yang tidak jelas, serta berkerudung waktu berdoa, tetapi malah bahkan sudah mentahbiskan perempuan menjadi pendeta (pemimpin) yang mengajarkan banyak orang dalam pertemuan jemaat, termasuk suaminya sendiri, serta tidak menggunakan kerudung lagi di mimbar, apakah gereja itu telah melanggar Firman Tuhan atau perintah Paulus? Kalau peradaban Alkitab seperti ini adalah kehendak Tuhan, maka kita semua sudah berdosa karena telah telah memberontak terhadap kehendak Tuhan.

Apa yang saya kemukakan sebagai contoh ini sekedar mengatakan adanya perbedaan antara kosmologi dan peradaban manusia abad 21 yang sudah tidak bisa lagi hidup dengan kosmologi dan peradaban yang ada dalam Alkitab, baik PL maupun PL. Nyatanya manusia abad 21 masih bisa hidup dengan baik dengan kosmologi dan peradabannya itu. Bagi perempuan abad 21, peradaban ini malah merupakan suatu peradaban yang memberikan kebebasan (liberating) yang sangat besar kepada mereka. Mereka boleh memiliki hidup sendiri di apartemen dan rumah sendiri, punya karier sendiri bahkan menjadi pejabat tinggi sampai menjadi presiden, berjalan dengan bebas pada malam hari tanpa harus takut pada laki-laki yang dapat menerkamnya, karena dijamin oleh hukum.

Hal ini hanya merupakan sebagian saja dari contoh bahwa menjadikan Alkitab sebagai satu-satunya sumber Kekristenan sudah tidak memadai lagi, apalagi kalau harus dipahami sebagai buku yang berisi kehendak Tuhan secara harafiah. Tuhan tidak bisa dibatasi hanya sebatas kesaksian yang ada dalam Alkitab. Kalau begitu bagaimana Alkitab itu terjadi?

Sejarah Terbentuknya Alkitab
Bagi Kekristenan, Alkitabnya terdiri dari dua kitab utama, yaitu PL dan PB. PL adalah kitab yang terdiri dari 39 kitab yang baru dikanonkan tahun 90 ZB (zaman bersama) di kota Jamnia dekat Yerusalem. Pada waktu dikanonkan, PL itu Alkitab Ibrani (Hebrew Bible), karena memang itu adalah Alkitabnya orang Yahudi, yang sebelumnya adalah bangsa Israel dan dimulai sebagai bangsa Ibrani. Kitab-kitab yang terdiri dari 39 kitab itu merupakan kumpulan dari proses panjang yang diperkirakan dimulai tertulis dalam bentuk sejarah kerajaan Israel Raya pada jaman Raja Daud berkuasa sekitar tahun 1000 SZB (sebelum zaman bersama) sampai sekitar tahun 100 SZB. Kumpulan tulisan yang beragam itu terdiri dari sejarah kerajaan, tulisan para nabi, nyanyian-nyanyian, puisi, cerita pendek, amsal-amsal mulai dikumpulkan sekuitar tahun 600 SZB ketika Koresy, Raja Persia, menyuruh para imam di Yerusalem menertibakn kehiduoan social bangsa Yahudi yang kacau balau akibat pembuangan oleh Babilonia Baru tahun 587 SZB. Kumpulan itulah yang ditambahkan dengan tulisan-tulisan lainnya baru, termasuk yang paling muda sekitar tahun 100 SZB dikanonkan tahun 90 ZB.

Berbeda halnya dengan PL, PB mulai dikumpulkan sekitar abad 2 ZB ketika surat-surat Paulus (mungkin 10 suratnya) digunakan secara teratur sebagai acuan sah kehidupan bergereja. Surat-surat tersebut adalah surat-surat pribadi Paulus yang ditulisnya sebagai penguatan bagi jemaat-jemaat yang telah dibangunnya yang tersebar di Asia Kecil pada masa kekaisaran Romawi. Paulus sendiri mungkin tidak menduga bahwa surat-suratnya itu pada suatu waktu akan menjadi bagian dari Alkitab. Dapat diduga bahwa pengumpulan ini juga terjadi setelah Keyahudian membakukan 39 kitabnya dalam Alkitab Ibrani itu, sehingga Kekristenan yang merupakan sekte dari Keyahudian itu merasa perlu merumuskan “kumpulan’ kitab-kitab acuan mereka tersendiri, karena jarak yang tidak jauh dari tahun 90 ZB itu. Proses yang dimulai sejak abad 2 itu berakhir pada tahun 397 ZB (zaman bersama) dalam konsili di Carthage dengan 27 kitab di bawah kepemimpinan Agustinus, yang kemudian ditegaskan kembali dalam konsili tahun 419 ZB di Hippo. Dalam proses kanonisasi itu empat ukuran yang dipakai, yaitu (1) pengarang: haruslah seorang rasul (murid Yesus) atau orang yang dekat dengan rasul. Injil Markus tidak ditulis rasul, akan tetapi karena dia dekat dengan Petrus, kitabnya masuk; (2) hakikat kitab: apakah berita kitab itu sesuai dengan pernyataan illahi dalam PL, apakah kitab tersebut merefleksikan ciri dari pribadi dan pekerjaan Yesus dan bersesuaian dengan tulisan para rasul; (3) universalitas: apakah kitab itu dibaca dan dipraktekkan dalam kehidupan gereja-gereja sebagai Tubuh Kristus?; (4) inspirasi: apalah kitab tersebut memiliki sifat kerohanian (spiritual) yang sejalan dengan pekerjaan Roh Kudus yang berdiam dalam setiap orang percaya?

Kalau proses terjadinya Alkitab Kristen seperti itu, maka dapat dimengerti bahwa apa yang ditulis para penulis PL dengan kosmologi dan peradabanya, yaitu kosmologi dan peradaban abad 11 SZB sampai abad 2 SZB, berbeda dengan kosmologi dan oeradaban manusia abad 21. Begitu pula halnya dengan PB, sesuatu yang ditulis dengan kosmlogi dan peradaban abad 1 dan 2 pasti berbeda dengan kosmologi dan peradaban abad 21. Roh Kudus itu bekerja juga dalam diri manusia abad 21 dengan spiritualitas abad 21. Hal ini tidak boleh diingkari. Roh Kudus tidak hanya berada pada manusia Kristen abad 1 dan abad 2 saja, melainkan juga berada dan bekerja dalam diri manusia abad 21. Pekerjaan Roh Kudus ini terjadi dalam kosmologi dan peradaban manusia abad 21 itu sebagaimana halnya manusia abad 1 dan 2 dan juga abad-abad sebelumnya.

Agama dan Demokrasi: Mungkinkah?
Apa yang dikemukakan di atas merupakan suatu refleksi dari suatu pergumulan yang belum tuntas, dinamik dan berpengharapan. Belum tuntas karena sadar akan keterbatasan kosmologi dan peradaban masa lalu bagi masa kini dan karenanya patut dipertanyakan setiap usaha untuk “memaksakan” manusia abad 21 hidup dengan paradigma abad 1 dan abad 2, apalagi kalau “pemaksaan” itu harus dilakukan dengan cara menakut-nakuti manusia abad 21 kini pakai nama Tuhan lagi. Dinamik karena dia sadar bahwa Tuhan tidaklah statis dan pensiun setelah Alkitab dikanonkan, tetapi Tuhan bekerja terus dalam sejarah manusia dengan segala kemampuan dan keterbatasannya. Dinamik karena dia ingin bergerak terus, tidak berhenti pada suatu tahapan tertenhtu dalam sejarah umat manusia. Berpengharapan karena dia sadar bahwa suda tentu ada sesuatu di depoan sejarah umat manusia yang dapat memberikan pemecahan terhadap permasalahan masa kini yang tidak diketahui oleh manusia, sebagaimana sudah terjadi dalam sejarah umat manusia di masa lalu.

Karenanya, sebagaimana halnya manusia telah memasuki era yang baru dalam sejarah kehidupannya, patutlah manusia itu beragama dalam roh jamannya. Sebagai yang demikian, tidak bisa diterima lagi oleh manusia abad 21 pemaksaan-pemaksaan paradigma lama, apalagi setelah diketahui bahwa paradigma lama itu punya rohnya tersendiri yang penad pada jamannya. Sayang sekali kalau agama-agama yang demikian itu masih tetap harus dipaksanakan berlaku pada masa kini.

Akibatnya, agama tidak lagi bisa dijadikan alat untuk menghancurkan sesama manusia atas nama Tuhan. Pertanyaan yang akan diajukan manusia abad 21 adalah bernarkah Tuhan memang menghendaki demikian? Buktinya apa? Apakah Tuhan memang berkomunikasi langsung dengan manusia seperti halnya percakapan lewat telepon? Kalau memang demikian, dapatkah seseorang yang melakukan percakapan telepon itu mengingat seluruh percakapan telelpon itu dengan baik? Tidakkah disana-sini pasti akan ada interpretasi yang tidak sama tepat dengan percakapan itu? Bernhard Lang mengatakan bahwa dalam pengalaman para nabi PL, kehendak Tuhan dipahami secara intuitif saja. Sudah tentu kehendak Tuhan itu tidak diberikan dalam bentuk berita facsimile. Oleh karenanya, ketika manusia mulai membunuh sesamanya karena dia kafir atau pendosa atas nama Tuhan, orang abad 21 akan bertanya benarkah Tuhan berkehendak demikian? Tuhan seperti apakah yang lemah seperti itu, sehingga harus menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuanNya?

Dengam menggambarkan keberadaan agama seperti itu, menjadi jelas bahwa klaim atas agama masa lampau yang dipahami manusia seolah berasal dari Tuhan, kini sudah harus dipertanyakan lagi. Karenanya, ketika ada orang yang mengklaim bahwa agama harus menjadi pedoman satu-satunya yang benar bagi kehidupan manusia pada abad 21 kini, termasuk di dalamnya kehidupan demokratik, pertanyaan yang patut dikemuakan adalah, agama yang mana? Kalau agama itu didasarkan pada Kitab Suci sudah kita ketahui masalahnya. Begitu pula ketika ada yang mengklaim sudah mendapatkan penglihatan atau wahyu dari Tuhan, pertanyaan yang patut dikemukakan adalah, apa buktinya?

Kalau itu diterapkan dalam kehidupan berdemokrasi, pertanyaannya dapatkah agama menjamin kehidupan manusia menjadi demokratik ketika hanya orang-orang tertentu saja yang memiliki keistimewaan mengetahui Wahyu Tuhan sedangkan yang lainnya tidak? Ketika masih ada perbedaan antara satu manusia dengan yang lainnya, sudah pasti itu bukanlah kehidupan yang demokratik. Dalam kehidupan beragama, kehidupan yang demikian adalah teokratik, yaitu kehidupan yang didasarkan atas kekuasaan Tuhan (Theos). Kekuasaan Tuhan itu dilaksanakan lewat orang-orang tertentu yang dinilai dapat memahami kehendak Tuhan itu. Teokrasi pasti tidak demokratis. Kehidupan beragama tidak bisa dipaksakan masuk dalam kehidupan demokartis, apalagi kalau agama itu berupa tafsiran terhadap wahyu Tuhan yang selalu saja bisa salah.

Karenanya, upaya mendirikan partai agama dalam suatu kehidupan berdemokrasi adalah salah kaprah, kalau tak dapat dikatakan mimpi di siang bolong!

















Acuan Kepustakaan

Berger, Peter L. (ed), The Desecularization of the World: Resurgent Religion and World Politics. Washington DC-Grand Rapids Michigan: Ethics and Public Policy Center-William B. Eerdmans Publishing Company, 1999.

Gottwald, Norman K., The Hebrew Bible: A Socio-Literary Introduction. Philadelphia: Fortress Press, 1985.

Lang, Bernhard, Monotheism and the Prophetic Minority: An Essay in Biblical History and Sociology. The Social World of Biblical Antiquity Series 1. Shefield: The Almond Press, 1983.

Microsoft® Encarta® Encyclopedia 2003. © 1993-2002 Microsoft Corporation. All rights reserved.

http://www.momo.essortment.com/cannonizationbib_rbnd.htm. Joy Odom, The Cannonization of the Bible diambil tanggal 28 November 2003.

http://www.newadvent.org/cathen/06342/html diambil tanggal 28 November 2003

KEBEBASAN BERAGAMA, AGAMA SIPIL DAN KONSTITUSI DEMOKRATIS


KEBEBASAN BERAGAMA, AGAMA SIPIL DAN KONSTITUSI DEMOKRATIS: REFLEKSI TEORITIS

Oleh : Pdt. Prof. DR. John A. Titaley

I. Pendahuluan
Permasalahan kebebasan beragama memang telah menjadi suatu problematika politik modern. Problematika politik modern merujuk pada suatu kondisi dalam mana agama yang dominan dalam suatu negara kehilangan otoritas politiknya. Pada saat yang sama keadaan di atas ditandai dengan munculnya kebebasan untuk memilih keyakinan keagamaan dilkalangan komunitas politik.
Sebagai implikasinya, memberikan angin bagi kebebasan memeluk agama memungkinkan munculnya pelbagai varian dan aktivitas keyakinan keagamaan. Dalam konteks inilah muncul dilema berikut dalam politik modern, yakni bagaimana hidup bersama dalam sebuah bangsa dengan keyakinan agama yang plural. Sampai di sini, ada banyak ide yang ditawarkan sebagai solusi atas persoalan tersebut, salah satunya adalah tentang agama sipil.
Dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia, sejarah mencatat bahwa sejak awal perumusan sampai ditetapkannya sebagai dasar negara,tidak seorang pun dari para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menganggap Pancasila sebagai suatu keyakinan keagamaan. Karenanya, meski-pun ia dianggap sebagai staatsfundamentalnorm, kepribadian bangsa, moral pembangunan, sumber dari segala sumber hukum dan sederet predikat lainnya, kehadirannya tidak bisa dianggap sejajar dengan agama yang jelas-jelas memiliki hak untuk menja-wab permasalahan manusia yang bersifat komprehensif, seperti dijelaskan di atas. Atas dasar inilah maka apapun predikat yang disandang oleh Pancasila, ia tetap ditujukan untuk menjawab permasalahan hidup manusia yang bersifat partial, yakni permasalahan yang menyangkut pengaturan negara.
Atas dasar ide di atas, maka makalah ini akan dengan melihat interkoneksi di antar tiga isu besar dalam politik modern yakni kebebasan beragama, agama sipil dan konstitusi demokratis. Penulis bermaksud untuk melihat ketiganya sebagai skema teoritis yang memiliki keterkaitan satu dengan lainnya.

II. Proteksi Yuridis Kebebasan Beragama
Bagian ini adalah upaya penulis untuk menyisir sejumlah aturan yang menjadi pagar pengaman bagi kebebasan beragama. Aspek ini dilindungi dalam dokumen International Covenant on Civil and Political Rights atau ICCPR. Dalam pasal 18 ICCPR dikatakan:
(1). Everyone shall have the right to freedom of thought, conscience and religion. This right shall include freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice, and freedom, either individually or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in worship, observance, practice and teaching.
(2) No one shall be subject to coercion which would impair his freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice.
(3) Freedom to manifest one's religion or beliefs may be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals or the fundamental rights and freedoms of others.
(4) The States Parties to the present Covenant undertake to have respect for the liberty of parents and, when applicable, legal guardians to ensure the religious and moral education of their children in conformity with their own convictions.
Karl Josef Partsch menambahkan bahwa pasal 18 tersebut menjamin hak-hak yang amat fundamental. Jaminan umum yang terkandung dalam paragraf pertama barangkali akan sangat sulit untuk diwujudkan. Meski tidak jelas definisi tentang thought, conscience dan religion, semuanya dapat mencakup pengertian individual atas keyakinannya terhadap dunia, masyarakat dan zat yang menentukan nasib dan takdir dunia, sifat ketuhanan, makhluk superior ataupun hanya rasio dan rasionalisme atau kesempatan.
Kata ”thought” mencakup pemikiran sosial dan politik, conscience juga bararti keseluruhan moralitas dan religion tidak hanya dibatasi kepada kepercayaan teistis saja, tetapi juga terdiri dari kepercayaan-kepercayaan non-teistis, bahkan ateistis. Meski secara privat dan publik ada jaminan kebebasan untuk beragama, tetapi manifestasi dari sistem keyakinan keagamaan tersebut haruslah menghormati hak fundamental orang lain. Mesti ada pertimbangan kebutuhan umum dalam ekspresi tersebut, dan yang pasti pertimbangan kebutuhan publik itu tidak boleh ditempatkan bertentangan dengan kepercayaan personal.
Kebebasan beragama, selain mendapat legitimasi yuridis dalam ICCPR, juga termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Dalam deklarasi ini disebutkan ”Everyone shall have the right to freedom of thought, conscience and religion. This right shall include freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice, and freedom, either individually or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in worship, observance, practice and teaching”.
Dalam Deklarasi PBB 1981 mengenai ”Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi berdasarkan Agama atau Keyakinan” yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pasal 18 ditegaskan bahwa kebebasan beragama berarti juga bebas untuk tidak beragama dan berpindah agama. Sebagaimana yang dinyatakan Komite Hak Asasi Manusia PBB: “The Committee stated that 'religion or belief' includes minority and non mainstream religions and theistic, non-theistic and atheistic beliefs. Article 18 also protects the freedom not to believe”.
Dengan demikian ada beberapa turunan dari aturan ini yakni :
1. Hak (kebebasan) untuk memeluk/ menganut suatu agama atau kepercayaan sesuai pilihannya.
2. Hak (kebebasan) untuk mewujudkan/ melaksanakan agama/ keyakinan.
3. Hak (kebebasan) untuk beribadat dan berkumpul, dan untuk mendirikan atau mengelola tempat peribadatan;
4. Hak (kebebasan) untuk mendirikan dan mengelola lembaga amal atau lembaga kemanusiaan yang pantas;
5. Hak (kebebasan) untuk membuat, memperoleh dan menggunakan material yang berhubungan dengan ritual dan adat;
6. Hak (kebebasan) untuk menulis, mengeluarkan dan menyebarkan terbitan yang relevan di bidangnya;
7. Hak (kebebasan) untuk mengajarkan agama atau kepercayaan di tempat yang sesuai untuk tujuan itu;
8. Hak (kebebasan) untuk mengumpulkan dan menerima bantuan keuangan dan sumbangan lain;
9. Hak (kebebasan) untuk melatih, menunjuk, memilih atau mencalonkan pemimpin yang tepat;
10. Hak (kebebasan) untuk menghormati hari-hari istirahat dan merayakan hari libur-hari libur dan merayakan upacara keagamaan; dan
11. Hak (kebebasan) untuk mendirikan dan mengelola komunikasi- komunikasi dengan individu dan kelompok di tingkat nasional dan Internasional.
Jaminan serupa diberikan oleh dunia dalam Deklarasi Hak Orang-orang yang ternasuk Bangsa atau Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Minoritas. Deklarasi tersebut menegaskan dalam pasal 1 bahwa negara akan melindungi eksistensi dan identitas kebangsaan, sukubangsa, budaya, agama dan bahasa kaum minritas dalam wilayahnya dan akan mendorong kondisi-kondisi yang memajukan identitas tersebut.
Semangat untuk melindungi kebebasan beragama, ditetapkan PBB dalam United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples atau yang kerap disebut sebagai Dekarasi PBB atas Hak Masyarakat Adat. Deklarasi ini adalah proteksi internasional bagi hak masyarakat adat. Ini artinya bahwa dunia mengakui eksistensi serta kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat pribumi di masing-masing negara.
Salah satu poin yang ada dalam deklarasi tersebut adalah hak masyarakat pribumi untuk menjaga sistem keyakinannya. Lengkapnya hal itu tercantum dalam Pasal 25 yang berbunyi “Indigenous Peoples have the right to maintain and strengthen their spiritual relationship with their traditionally owned or otherwise occupied and used lands, territories, waters and coastal seas and other resources and to uphold their responsibilities to future generations in this regard”.
Di Indonesia, jaminan konstitusional terhadap hak ini muncul antara lain dalam Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen. Pasal itu menyebutkan:
1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
2. Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
3. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Secara normatif, ketentuan dari pasal ini menjadi legitimasi yuridis bahwa kebebasan beragama dan tidak beragama mendapat jaminan. Tidak hanya itu, bahwa agama apapun sejatinya mendapat pengakuan dari negara. Ini dikarenakan ekspresi keberagamaan dan berkeyakinan warga negara mendapat jaminan yang setara dari negara. Kalau dilihat korelasinya dengan konstitusi PBB, maka pasal ini sesungguhnya merupakan ekuivalen dengan pasal 18 ICCPR. Hal ini kemudian ditegaskan dalam pasal 29 ayat 2.
Jaminan konstitusional berikutnya dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Dengan ratifikasi itu, maka Indonesia menjadi Negara Pihak (State Parties) yang terikat dengan isi ICCPR.
Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan landasan normatif bahwa agama dan keyakinan merupakan hak dasar yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam pasal 22 ditegaskan:
1. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Dalam pasal 8 juga ditegaskan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.
Proteksi legal itu sejatinya tengah mengandaikan peran negara agar ia senantiasa menjadi payung untuk melindungi hak beragama warganya. Hal itu dimungkinkan karena hak beragama tidak hanya merupakan hak asasi manusia tetapi juga telah menjadi hak sipil. Pertanyaannya kemudian apa sebenarnya yang dimaksud dengan kebebasan beragama sehingga perihal kebebasan tersebut mendapat perhatian dunia internasional dan harus ada perlindungan secara hukum?

III. Aspek Kebebasan Beragama
Kebebasan beragama, dalam bahasa Inggris memiliki dua pengertian, religious freedom dan religious liberty. Keduanya biasa digunakan secara bergantian dengan makna yang tidak berubah. Bedanya, barangkali ada pada konteksnya. Jika religious freedom merupakan konsep yang luas, sementara religious liberty digunakan dalam konteks yang spesifik dalam wilayah hak hukum dan politik. Karena tidak memiliki signifikansi yang pada akhirnya akan merubah maksud pengertian, penulis dalam karya ini akan menggunakan dua frase (religious freedom dan liberty) tersebut dalam satu makna dan secara bergantian digunakan.
Paul G. Kauper melihat bahwa religious liberty secara umum dipahami sebagai salah satu aspek paling fundamental dari kebebasan sipil. Bagi Kekristenan, semua aspek dari kebebasan sipil berakar dalam sebuah fakta bahwa manusia diciptakan Tuhan untuk mengabdi kepadaNya. Dalam dunia modern fondasi keberagaman ini tidak hanya berlaku bagi pemeluk agama-agama dunia tetapi juga dimaksudkan untuk menjaga kebebasan beragama bagi penganut pseudo agama seperti halnya Marxisme, Biologisme, Rasisme dan Statisme.
Ninan Koshy, dengan mengutip pendapat Carillo de Albornoz membagi kebebasan beragama ke dalam empat aspek. Pertama, kebebasan nurani (liberty of conscience). Kedua, kebebasan mengekspresikan keyakinan keagamaan (liberty of religious expression). Ketiga, kebebasan melakukan perkumpulan keagamaan (liberty of religious association). Keempat kebebasan menginstitusikan keagamaan (liberty of religious institutionalization).
Aspek pertama dari keempat wilayah tersebut memiliki sifat yang absolut atau pure religious liberty. Dan ia merupakan bagian dari internal aspect of religious freedom. Dalam aplikasinya, yang disebut sebagai freedom of conscience juga sering dimaknai sebagai freedom of religion. Karena kebebasan nurani adalah aspek internal maka tiga aspek yang lain adalah aspek eksternalnya. Atau kebebasan nurani adalah sword of the spirit tiga yang lain adalah sword of steel.


Tentang kebebasan nurani, Michael Novak mengatakan:

This liberty of conscience transcends any and all political orders. Human freedom rooted in God declares that all states and all political orders are under God, limited not omnipotent. States can crush or kill human beings, but they cannot alienate them from their responsibility to God and conscience.

Sementara Franklin I. Gamwell dalam ”The Meaning of Religious Freedom” memaparkan bahwa kebebasan nurani inilah yang hanya bisa dipahami secara jernih jika agama ditempatkan dalam kategori narrowly defined. Menurut Gamwell,

Religion is the primary form of culture in terms of which the comprehensive question is explicitly asked and answered and further, so answered that human authenticity is derived from the character of reality as such. In saying this I mean that the distinction between authentic and inauthentic human activity is identified by the relation of human activity to reality as such or ultimate reality. Whether that ultimate reality is understood as Yahweh, Allah, ”emptiness”, or in some other way, it is understood to be the ground of human authenticity. The point may also be expressed by saying that religion, narrowly understood, so addresses the comprehensive question that ultimate reality is said to authorize human authenticity.

Dengan mengacu pada pengertian di atas, maka Gamwell menyinggung mengenai soal autentisitas atau keaslian manusia. Bahwa ia hanyalah bisa diidentifikasi terkait dengan relasinya terhadap aktifitas manusia untuk meyakini eksistensi ultimate meaning of life. Meski realitas tertinggi itu bisa berbentuk ”ketiadaan”.
Kembali pada keterkaitan antara internal dan eksternal aspek dalam kebebasan beragama. Inner Freedom dengan demikian memiliki status yang sama dengan dimensi eksternalnya. Wilayah eksternal adalah manifestasi dari dimensi internal keberagamaan yang akan bersinggungan dengan wilayah publik. Dalam konteks ini, aspek eksternal di dalamnya mengandung bentuk ketaatan untuk melaksanakan upacara keagamaan, termasuk asosiasi keagamaan pemeluknya, mengekspresikan komitmen keberagamaan, pengajaran dan penyebaran kepercayaan. Apa yang secara umum dipahami sebagai kebebasan beragama juga harus dipahami sebagai kebebasan dalam konteks manifestasi dimensi eksternal agama itu.
Jika aspek internal dari kebebasan beragama bersifat absolut, tidak demikian halnya dengan dimensi eksternalnya yang bersifat relatif. Relativitas sifat dari dimensi eksternal ini dipahami karena agama tidak selalu berbicara tentang keyakinan personal. Agama juga hadir dan bersentuhan dalam wilayah sosial serta berkaitan dengan institusi lainnya. Atas dasar ini, maka sekali lagi, kebebasan beragama termasuk juga di dalamnya kebebasan untuk mengekspresikannya. Karena agama, tidak hanya menyangkut keyakinan personal, tetapi juga berarti di dalamnya adalah manifestasi atas keyakinan tersebut.
Wilayah eksternal dari kebebasan beragama menyediakan ruang yang cukup lapang bagi institusi agama untuk bersentuhan dengan formasi lain kehidupan. Dengan demikian, kebebasan dalam menginstitusionalisasikan agama juga pada akhirnya adalah sebuah teka-teki politik dimana umat beragama juga mesti melakukan perhitungan dengan cermat tentang suatu siasat.
Sekedar perbandingan, pembagian aspek kebebasan beragama dijelaskan oleh Kauper dalam ”Legal Aspects of Religious Liberty”. Kauper menjelaskan tentang dua model kebebasan beragama yakni kebebasan pribadi dan kebebasan gereja sebagai korporasi.
Kebebasan individual didalamnya memuat lima prinsip kebebasan. Pertama, kebebasan nurani dan berkeyakinan. Kedua, kebebasan beribadah. Ketiga, kebebasan untuk menyebarkan ide-ide keberagamaan. Keempat, kebebasan dalam hal pendidikan dan kehidupan keluarga. Kelima, kebebasan dari agama yang disponsori negara.
IV. Kebebasan Beragama dalam Sistem Politik
Jika agama dipahami sebagai primary form of culture, maka politik, kata Gamwell adalah “a specific form of association in which the question of the state is explicitly asked and answered”. Dari sini bisa dimengerti kalau negara tidak lain dari seperangkat aktifitas sebuah pemerintahan dimana semua asosiasi dan aktifitas diberikan oleh masyarakat atau komunitas yang secara eksplisit disatukan atau diatur, dan karenanya selalu dinyatakan secara partikular.
Pertanyaannya kemudian, jika agama sebagai satu bentuk khas dari budaya berusaha menjawab pertanyaan secara komprehensif, apa yang harus dijawab oleh politik?
Definisi tentang politik yang telah diajukan oleh Gamwell di atas, sebenarnya menolong untuk memahami bahwa sebagai sebuah bentuk spesifik dari aktifitas, atau hanyalah satu bentuk asosiasi, maka aktifitas politik diidentifikasi sebagai partisipasi dalam politik atau body politics. Jika agama menjawab semua persoalan baik yang terkait dengan kehidupan fisik maupun metafisik, politik hanyalah menjawab pertanyaan eksplisit mengenai tugas negara sebagai pengatur lalu-lintas hak warganya.
Maksud dari asosiasi politis atau negara adalah untuk menentukan aktifitas-aktifitas apa yang harus dan akan dilakukan negara. Tentunya, pertanyaan itu bisa diajukan dan dijawab secara kritis, yang disitu klaim tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh negara dapat disepakati secara eksplisit dan aktifitas politik juga bisa mengambil bentuk ini.
Aktifitas politik, dengan demikian adalah partisipasi dalam proses politik. Meskipun maksud dari politik adalah untuk menentukan aktifitas negara, hal itu juga berarti refleksi kritis terhadap pertanyaan negara, juga merupakan aktifitas politik, yakni ketika partisipasi politik diambil dalam bentuk argumen atau perdebatan.
Kebebasan beragama, dalam pandangan Gamwell, karenanya bisa dilihat tidak lain dari sebentuk prinsip politik yang tidak memiliki makna secara koheren tanpa sebuah asosiasi politik yang dikonstitusikan melalui sebuah free discussion dan perdebatan yang didalamnya melibatkan keyakinan-keyakinan yang berbeda.
Meski dihadirkan dengan bahasa yang sedikit berbeda, ide Gamwell dalam batas-batas tertentu sejalan dengan paparan John Cobb, Jr yang memunculkan gagasan tentang teologi sejarah (the theology of history). Dalam pandangan Cobb Jr, mengutip Whitehead, suatu teologi sejarah hanya bisa terjadi apabila ada kebebasan (freedom) dan kebebasan tidak bisa berdiri sendiri tanpa kesetaraan (equality). Kebebasan dan kesetaraan ini haruslah kongkrit dalam bentuk hak yang dijamin hukum.
Selain harus ada konkretisasi jaminan kebebasan dalam sebuah konstitusi yang demokratis. Tentang ide ini, Cobb Jr, menekankan akan pentingnya pemahaman terhadap teologi politik. Cobb Jr, menyarikan model pemahaman terhadap teologi politik dengan disandarkan pada teologi proses. Teologi politik, dapat dipahami sebagai bagian dari teologi pembebasan. Keharusan agar teologi proses menjadi teologi politik berarti bahwa teologi proses harus menjadi komitmen dasar, meminjam bahasa Dorothee Solle, “to indivisible salvation of the whole world.”
Bagi para teolog politik, teori (politik) difungsikan sebagai pelayan dalam praktek di lapangan. Teori ini dibutuhkan agar yang terjadi di lapangan bukanlah sebuah blind activism. Aktifitas haruslah didasarkan pada ancangan teori dan kerangka berpikir yang memadai. Apa yang menjadi penting adalah bahwa pemikiran tidaklah harus dilihat sebagai akhir dari segalanya atau sebagai makna untuk memperoleh kebenaran yang hanya setelah itu dikaitkan dengan tindakan di dunia. Sebagai manusia beragama, kata Cobb Jr, kita harus terlibat dalam refleksi, meski itu refleksi abstrak, karena kita memerlukan sebuah tindakan yang benar. Dan tentu inilah bagian dari political action. Dengan kata lain, Cobb Jr, sebenarnya tengah mengajukan tesis bahwa beragama sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan berpolitik. Dan karenanya beragama sama dengan berpolitik.
Tetapi persoalan tidak berhenti sampai disini. Relasi antara politik dan agama menjadi problematika dalam masyarakat politik modern karena dalam komunitas ini mengandung pluralitas legitimasi agama. Mengenai paradigma relasi agama dan politik ada dua pandangan yang akan dikemukakan, yakni dari Philip Wogaman dan MM. Thomas (yang kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh John. A Titaley).
Philip Wogaman menulis bahwa ada empat bentuk (baca: negara) dalam kaitannya dengan eksistensi gereja. Pertama, Teokrasi, dimana negara berada di bawah kontrol para pemimpin atau institusi agama untuk kepentingan agama. Negara teokrasi dapat tergambar dalam masyarakat primitif seperti Tibet, sekte Mormon awal di Utah, negara-negara Islam di Timur Tengah termasuk diantaranya Iran. Model ini juga yang tergambar pada pemerintahan Vatikan II yang didasarkan pada doktrin Katolik.
Kedua, erastianisme yang merupakan model dimana gereja berada dibawah otoritas negara. Sebagai sebuah paradigma, Erastianisme diambil dari nama pencetus gagasan ini Thomas Erastus (1524-1583), seorang ahli fisika asal Swiss yang juga Teolog Protestan. Sesungguhnya Erastus tidak menjabarkan doktrinnya ini dalam sebuah bentuk yang ekstrem. Idenya tersebut berakar pada zaman kuno dan ditemukan dalam bentuk yang berbeda oleh para filosof abad pertengahan seperti Marsilius Padua dari Italia.
Erastus, merupakan penerus ajaran Huldreich Zwingli, yang menentang model Calvinis yang disukai oleh Elector Frederick III. Erastus menentang ide John Calvin mengenai excommunication (pengucilan), dimana para anggota dewan gereja dapat mengeluarkan masyarakat dari Ekaristi. Menurut Erastus, hanya negara yang memiliki kekuasaan koersif, yang dapat digunakan sebagai aturan gereja, tetapi tidak pernah dapat menghalangi siapapun untuk keluar dari “Holy Communion”.
Ninan Koshy menambahkan bahwa kategori yang paling tepat untuk menggambarkan model ini adalah “established church”. Disini, negara memiliki agama yang menjadi “the golden boy”. Agama yang mapan alias “the golden boy” itu dipenuhi haknya, sementara agama yang lain tidak. Dalam hukum Inggris, sebagaimana terlihat dalam perdebatan mengenai hukuman terhadap Shalman Rushdie penulis “The Satanic Verse”, pasal-pasal blasphemy atau penodaan agama diterapkan hanya terhadap Kekristenan dan secara spesifik terhadap Gereja Inggris (The Church of England).
Tetapi, di saat yang sama, meski agama tertentu memiliki hak istimewa, tetapi sesungguhnya agama tersebut tidak dapat sepenuhnya mengekspresikan ajaran agama secara bebas, karena keputusan-keputusan yang bersifat strategis selalu didasarkan atas seberapa besar keuntungan yang pada nantinya akan didapatkan negara. Inilah yang menjadi pangkal persoalan dari model Erastianisme. Di satu sisi, ia hanya berkutat pada kepentingan agama tertentu dan di sisi lain kepentingan agama anak emas itupun dipagari agar tidak membahayakan kepentingan negara.
Ketiga, pemisahan antara agama dan negara secara ramah, yakni model pemisahan antara agama dan institusi politik secara legal tetapi satu yang lain tidak saling bermusuhan. Keempat, pemisahan antara agama dan negara secara tidak ramah, yaitu pemisahan secara legal dan dalam posisi yang antagonistik.
Model relasi antara agama dan negara berikutnya diberikan oleh MM.Thomas sebagaimana dikutip oleh John A. Titaley dalam ”Asian Models of Religious Diversity”. Thomas, Teolog asal India, mengembangkan empat model negara dalam relasinya dengan dunia sekuler. Pertama, negara sekularistik (secularistic state). Ini adalah sebuah negara dimana agama dicegah dan tidak didukung eksistensinya. Agama tidak diakui sebagai bagian dari negara dan tidak memiliki peran dalam ruang publik. Republik Rakyat Cina selama masa Revolusi Budaya mempraktekan model ini.
Kedua, negara sekuler (secular state). Negara yang menganut paradigma ini, memberikan jalan bagi agama untuk eksis dan diakui oleh negara. Hanya saja ada pembatasan dalam model ini. Agama tidak boleh dilibatkan dalam kehidupan politik. Pemisahan tegas antara state-church, mutlak diberlakukan. Negara yang menganut filosofi ini cukup banyak, termasuk di antaranya Amerika, Australia dan lain-lain.
Ketiga, negara religius (religious state). Bentuk negara semacam ini adalah negara dimana salah satu agama diakui sebagai agama resmi negara tersebut. Karenanya, aturan-aturan publik dijalankan dengan mengacu pada aturan yang terkodifikasi dalam agama tersebut. Ada kemungkinan bahwa agama lain, yang tidak menjadi agama resmi negara menjadi agama kelas dua. Model ini juga bisa dikatakan sebagai model teokrasi. Kebanyakan negara di Timur Tengah, menganut model ini.
Keempat, negara pancasila (pancasila state). Negara model ini memberikan ijin sepenuhnya kepada agama dan aliran kepercayaan untuk hidup tak hanya itu, agama dan aliran kepercayaan juga (seharusnya) diakui oleh negara. Agama dan aliran kepercayaan juga diberikan ruang untuk berpartisipaasi dan menjalin hubungan dengan kehidupan politik. Indonesia adalah negara yang menjalankan paradigma ini.
Kalau merujuk pada paparan Wogaman, maka relasi ketiga, yang memberikan peluang untuk berlangsungnya sebuah kehidupan yang lebih baik. Sementara, jika merujuk pada paparannya Thomas, maka negara Pancasila adalah sebuah model yang sekarang kita jalankan.
Meski begitu, baik arahan Wogaman maupun petunjuk ala Thomas tidak bisa bermakna jika relasi yang saling menguntungkan itu tidak diakomodir oleh konstitusi. Inilah yang dalam fenomena politik modern dikenal sebagai constitutional issue. Hal ini berarti bahwa prinsip konstitusional bisa diidentifikasi sebagai kondisi optimal dimana semua klaim politik, termasuk di dalamnya semua keyakinan keagamaan, dapat diterima secara publik, sebagai bagian dari proses politik.
Konstitusi yang demokratis haruslah merupakan ekspresi dari setiap pemahaman keagamaan. Dan karenanya konstitusi itu harus dapat diterima oleh setiap kelompok keagamaan. Jika dalam sebuah konstitusi tidak mengandung dua prinsip itu, maka konstitusi itu belumlah dinamakan sebagai democratic constitution. Karena konstitusi adalah wilayah publik, maka bahasa yang harusnya diakomodir adalah bahasa keagamaan yang universal. Dan hal ini hanya dimungkinkan jika warga masyarakat sebagai umat beragama bisa menempatkan idiom keagamaan dalam satu kerangka bersama yang universal, bukan partikular.

IV. Konstitusi Demokratis dan Agama Sipil
Penulis mencoba menarik gagasan mengenai democratic constitution ke ranah civil religion. Dengan asumsi bahwa eksistensi agama sipil bisa dimanifestasikan dalam satu kerangka pemahaman konstitusional yang demokratis. Karena konstitusi demokratis mestilah merupakan kompromi dari berbagai partikel-partikel identitas primordial, begitu pula halnya dengan agama sipil. Inilah yang menjadi titik temu antara konstitusi demokratis dengan agama sipil. Agama sipil merupakan salah satu jalan keluar saat menghadapi sebuah masyarakat yang plural.
Bolehlah disebut bahwa konstitusi yang demokratis adalah manifesto dari agama sipil. Untuk menguatkan argumentasi dari konsep agama sipil ini, maka penulis akan mencari akar pemikirannya dari Rousseau, Emile Durkheim, Robert N.Bellah serta yang agak baru, Andrew Shank.
Sejauh yang penulis dapatkan dan pahami dari beberapa literatur, Jean-Jacques Rosseaulah yang kali pertama mengenalkan konsep mengenai civil religion. Dalam magnum opusnya, On Social Contract, Buku IV, Rosseau membagi agama menjadi dua, agama manusia dan agama masyarakat. Model pertama oleh Rosseau digambarkan sebagai natural divine right or law, sementara yang kedua ia menyebutnya sebagai civil or positive divine right or law.
Agama manusia menurut Rousseau adalah agama yang menekankan pada aspek moralitas dan penyembahan kepada Tuhan. Rousseau menyebut juga agama ini sebagai “the religion of Gospel”. Sementara, agama masyarakat, yang kelak disebut sebagai agama sipil, adalah agama sebuah masyarakat yang dipeluk suatu bangsa. Agama ini terorganisir dan hirarkis serta terikat dengan dogma-dogma formal. Agama ini mengajarkan cinta tanah air, ketaatan pada Negara dan nilai-nilai pengorbanan.
Bahasan mengenai agama sipil oleh Rousseau mendapatkan porsi yang cukup lebih. Ia merasa perlu untuk mengkampanyekan gagasan ini karena dua hal. Pertama, Agama Sipil perlu dimunculkan untuk memberikan sistem kepercayaan pengganti bagi mereka yang kepercayaannya telah dihancurkan oleh kekuatan-kekuatan pencerahan abad pertengahan. Kedua, selain itu Agama Sipil bertujuan untuk menyelaraskan dan mencari kesinambungan antara agama dan politik.
Agama sipil merupakan otoritas baru sebagai sumber legitimasi untuk menentukan batas-batas yuridiksi dan memberikan persetujuan-persetujuan transedental. Untuk kedua persoalan tersebut di atas Rousseau menawarkan gagasan agama sipil. Disebut sebagai agama, karena dia menginginkan sumber otoritas yang bebas dari rezim yang berkuasa (negara), dan disebut sipil karena dia menginginkan bebas dari pengaruh gereja.
Bagi Rosseau, agama sipil tetaplah harus memiliki dogma. Dan dogma yang dikembangkan agama model ini haruslah sederhana. Mempercayai eksistensi Tuhan, kehidpan yang akan datang, pahala bagi yang berbuat baik, hukuman bagi yang berbuat jahat, sanksi dari kontrak sosial dan hukum. Hal tersebut adalah dogma positif dari agama sipil. Sementara yang negatif, kata Rosseau terdiri dari intoleransi yang merupakan bagian dari kultus yang mesti ditolak.
Sebagai kesimpulan, agama sipil berarti bahwa ia merupakan suatu kesetiaan warga masyarakat yang diikat oleh sebuah kontrak sosial yang merupakan hasil kesepakatan diantara mereka untuk mencapai bersama-sama kehendak umum mereka (general will), yakni keadilan dan kesejahteraan bersama. Jika kehendak umum tersebut dimengerti dengan baik serta memiliki nilai transendental, maka adalah tugas setiap warga negara untuk menjalankan perannya dengan baik di masyarakat sehingga berguna bagi sesamanya. Terhadap pemahaman imaniah seperti inilah, pemerintah perlu mengaturnya dalam berbagai aturan, bukan sebagai dogma, tetapi sebagai suatu tuntutan sosial yang tanpanya, seseorang tidak bisa menjadi warga negara yang baik atau rakyat yang setia. Pemahaman imaniah seperti itu tidak sama dengan agama seseorang.
Gagasan Rousseau tentang agama sipil itu juga tercermin dalam magnum opusnya Durkheim, ”The Elementary Forms of Religious Life”. Jika Rousseau memunculkan istilah mengenai agama sipil, Durkheim menemukan dasar yang asasi dari agama sipil tersebut. Dalam buku yang berusaha untuk melihat bentuk-bentuk awal dari kepercayaan ini Durkheim melihat bahwa setiap masyarakat memiliki keunikannya tersendiri dalam soal keyakinan. Mereka, lanjut Durkheim memiliki kesadaran bersama (collective consciusness) dalam sebuah ritual. Upacara itu untuk memilah warna kehidupan yang sakral dari yang profan.
Hemat penulis, inilah filosofi dari apa yang oleh Rousseau disebut sebagai agama sipil tersebut. Durkheim berpendapat bahwa format dasar dari kepercayaan itu dari kolektifitas individu yang menyatukan asas moralnya. Agama lebih merupakan ekspresi masyarakat yang terintegrasi daripada sebagai sumber integrasi masyarakat.
Asosiasi manusia yang didasarkan atas klan ataupun karena adanya kesamaan tujuan ataupun kesamaan tradisi melakukan penyatuan berdasarkan substansi moralitas yang dikandung. Mereka menyadari semua itu sebagai sebuah “collective consciousness”. Durkheim menyebut, kesadaran kolektif itu hanya akan muncul saat mereka mengalami semacam “mental effervescent” dimana semua kepentingan-kepentingan individu menyatu dalam sebuah kolektifitas masyarakat. Disinilah hakikat dari agama sipil itu bisa ditemukan. Ada kepentingan bersama yang menjadi kesepakatan dari tiap-tiap anggota kelompok.
Penulis melihat bahwa dengan model ini, Durkheim hendak menyambungkan format dasar dari agama dengan integrasi. Jadi bukan lantas agama yang menghasilkan masyarakat yang terintegrasi, tetapi lebih pada bahwa fenomena tersebut memiliki kualitas keberimanan. Sekumpulan orang pada taraf tertentu yang membentuk sebuah masyarakat, ia secara otomatis akan melahirkan sebuah agama yang dipeluk secara publik. Dan karena keunikannya itulah, dengan mengikuti cara berpikir Durkheim, maka tidak ada masyarakat tanpa agama.
Wacana ini kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh Bellah. Dalam Beyond Belief, Bellah mengintrodusir gagasan tentang agama sipil di Amerika. Bellah mengatakan di Amerika ada sebuah agama sipil yang tertata dan terlembagakan dengan baik, yang berjalan dengan, namun juga secaa jelas dapat dipisahkan dan dibedakan dari Kekristenan.
Bellah sendiri memahami bahwa hal itu bukanlah dimaksudkan sebagai national self-worship, tetapi sebagai bentuk ketundukan bangsa Amerika pada prinsip-prinsip etika yang melampauinya dan dari sudut mana hal itu harus dinilai. Agama sipil itu sendiri, sejauh pembacaan penulis terhadap pemikiran Bellah, sebenarnya justru muncul dari pelbagai ekspresi keberagamaan formal. Semangat keberagamaan itulah yang merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai agama sipil.
Kala menelaah tentang ekspresi dari agama sipil Amerika, bellah menemukan fenomena yang unik dalam pidato-pidato Presiden Amerika saat diangkat menjadi kepala negara. Bellah menarasikan pidato pengangkatan John F.Kennedy saat menjadi presiden Amerika tahun 1961. Kennedy mengucapkan tiga kali kata ”Tuhan”. Pertama ia mengatakan, ”...karena saya telah menyatakan sumpah di hadapan Anda sekalian dan Tuhan Yang Maha Kuasa. Kedua, ”...keyakinan bahwa hak-hak manusia tidak datang dari pemberian negara, tetapi dari tangan Tuhan”. Ketiga, ”...karya Tuhan harus benar-benar menjadi karya kita”.
Menurut Bellah kata Tuhan yang diucapkan Kennedy adalah cara yang dibuat untuk memperlihatkan sisa-sisa posisi agama di Amerika dewasa ini. Kennedy, ketika mengucapkan kata Tuhan, tentu tidak mengacu kepada Yesus Kristus atau Musa, atau gereja Kristen. Dan tentu saja ia juga tidak mengacu kepada gereja Katolik. Ia hanya mengacu kepada konsep Tuhan, sesuatu yang bisa diterima oleh hampir semua orang Amerika.
Lalu bagaimana memahami hal tersebut (Tuhan) diekspresikan dalam sebuah negara yang memantapkan posisinya untuk memisahkan antara agama dan negara? Bellah menjawab bahwa pemisahan antara agama dan negara itu tidak mengingkari dimensi keagamaan dalam bidang politik. Meski agama adalah urusan pribadi, tetapi dalam batas-batas tertentu, ada orientasi keagamaan yang dimiliki secara bersama-sama oleh sebuah bangsa. Dimensi dari keyakinan bersama itu diekspresikan dalam seperangkat keyakinan, simbol dan ritus yang oleh Bellah disebut sebagai ”American Civil Religion”.
Tidak hanya di Amerika, fenomena perkembangan agama sipil juga mengemuka di Italia, Meksiko dan Jepang dan mungkin juga model itu ada di Indonesia. Bellah dan Phillip E. Hammond memaparkan hal itu dalam ”Varieties of Civil Religion”.
Menurut Hammond, perkembangan agama sipil di pelbagai negara itu paling tidak dilatari oleh tiga alasan. Pertama, kondisi pluralisme keagamaan tidak memungkinkan bagi salah satu agama untuk digunakan oleh seluruh agama sebagai sumber makna yang bersifat general dan berlaku bagi setiap individu yang berlatar belakang identitas tersebut. Tetapi kedua, masyarakat dihadapkan pada kebutuhan untuk melekatkan sebuah makna dalam aktifitasnya, khususnya ketika aktifitas itu berkaitan dengan individu yang berangkat dari latar belakang keagamaan yang beragam. Karenanya, ketiga, diperlukan sistem makna pengganti dan jika telah ditemukan, aktifitas mereka dapat difasilitasi oleh sistem tersebut, oleh sebab itu kemudian mereka cenderung mengagungkan sistem itu.
Gagasan Agama Sipil yang agak mutakhir dipaparkan Andrew Shank dalam ”Civil Religion”. Dalam buku civil religion, Shank menekankan pada civil theology. Teologi model ini adalah sejenis pemikiran, yang dalam budaya Kristen muncul dari sejarah teologi konfensional Kristen. Menurut Shank, agama sipil menjadi disiplin ilmu yang bertujuan untuk menyembuhkan memori-memori yang terpecah belah sehingga mampu membuka kemungkinan ditempanya ikatan-ikatan solidaritas baru.
Yang menarik dari paparan Shank hemat penulis adalah karena ia mencoba mengaplikasikan konsep ini tidak hanya dalam kategori manusia beragama. Namun, Shank dengan telanjang mengatakan bahwa agama sipil mampu menghasilkan ikatan solidaritas, dimana agama sipil membantu memunculkan sekaligus merayakannya, adalah solidaritas yang melampaui pembedaan antara orang beriman dan tidak beriman, teis dan ateis.
Sebagai inti dari agama sipil, teologi sipil harusnya berbeda dari teologi konfesional dalam hal cara yang digunakan untuk kembali menuju tahap pra teologi. Atau ia adalah hierologi, sebuah studi mengenai kesucian yang benar, yang didalamnya pertanyaan-pertanyaan teologi dibiarkan terkurung. Dengan demikian, pelaku dari perdebatan ini terbuka bagi siapapun bagi semua tradisi agama maupun anti agama. Teologi sipil, menurut Shank, berada pada wilayah tengah antara teologi konfesional dan hierologi sipil.
Yang penting, menurut Shank, dalam membicarakan teologi sipil adalah ketidakharusannya berkonflik dengan teologi konfessional. Akan menjadi konflik jika teologi konfesional mengklaim akses eksklusif menuju kebenaran. Begitu juga jika teologi sipil menuduh iman konfesional akan memproduk orang-orang yang tidak baik. Teologi konfesional tidak harus membuat klaim seperti itu dan tidak harus menghasilkan manusia-manusia jahat.
Sebagai pungkasan ringkasan dari apa yang dikehendaki dari agama sipil ini dirangkum dengan sangat sistematis oleh oleh John A. Coleman dalam “civil religion”. Secara lebih rinci ia menjelaskan deskripsi tentang agama sipil. Karakteristik dari agama sipil itu dijabarkan dalam delapan gambaran. Pertama, agama sipil adalah kumpulan dari ritual dan simbol yang berhubungan dengan peran seseorang sebagai warganegara dan perannya sebagai bagian dari masyarakat serta bagaimana memaknai keduanya pada saat yang bersamaan.
Kedua, agama sipil merupakan representasi dari fungsi agama secara khusus dimana isi dan simbolisasi keagaamaan yang ada didalamnya menjadi tanggung jawab kedua belah fihak yaitu agama dan negara, bukan cuma salah satunya.
Ketiga, Perbedaan sosial Agama Sipil dari agama dan negara adalah Agama Sipil selalu mengikuti garis evolusi kultural sementara agama dan negara tidak demikian.
Keempat, pada kondisi yang tidak bisa membentuk Agama Sipil menjadi begitu berbeda dengan yang lainnya (undifferentiated), maka fungsi Agama Sipil dibentuk oleh institusi keagamaan dan atau oleh negara.
Kelima, selanjutnya pada situasi diatas Agama Sipil pada saat yang bersamaan dapat memberikan kebebasan dan keleluasaan bagi baik agama maupun negara.
Keenam, secara definitif agama sipil merupakan sebuah sistem keagamaan yang didapat untuk membentuk integrasi sosial di masyarakat luas. Sebagaimana oleh Durkheim disebut sabagai identitas dan solidaritas nasional dari agama.
Ketujuh, pada saat agama (organized religion) dan agama sipil memiliki fungsi yang berbeda dalam berintegrasi dengan masyarakat maka kemudian timbul pertanyaan apakah agama benar-benar bisa berintegrasi dengan masyarkat atau malah menjadi sebuah lembaga yang terpisah? jawabannya adalah terletak pada bagaimana bentuk hubungan antara agama itu sendiri dan agama sipil.
Kedelapan, perbedaan antara agama sipil dari institusi keagamaan dan negara semestinya tidak membuat negara bersikap oposisi terhadap institusi keagamaan. Sehingga institusi keagamaan dapat secara bebas menjalankan fungsi profetiknya. Adapun hubungan antara civil society dalam hal ini negara dan organized religion dapat sangat berkembang secara harmonis apabila tidak ada saling monopoli diantara keduanya melainkan saling bekerjasama dan menerima kondisi spesifik masing-masing dalam rangka mengembangkan simbol-simbol keagamaan sipil dan memperjelas peran dan makna eksistensi seseorang sebagai warga negara dan sekaligus sebagai warga yang beragama.

V. Pancasila dan Agama Sipil: Sebuah Kesimpulan
Penulis mencoba mencari benang merah dengan mengaitkan fenomena agama sipil ini dalam konteks keindonesiaan. Ada yang menyebut bahwa Pancasila itu adalah agama sipil. Jadi pancasila itu tidak merupakan agama baru atau super agama. Pancasila itu hanyalah merupakan cerminan dari nilai religiusitas yang menyatukan semua manusia dari berbagai latar belakang agama. Itu yang pertama.
Kedua, alinea ketiga dalam Pembukaan UUD 45 adalah sebentuk ekspresi dari agama sipil dalam konteks ketuhanan. Tuhan tidak digambarkan sebagai Allah Swt, Allah Tritunggal, Yahweh atau lainnya. Ia dinarasikan dalam nama ”Tuhan”. Konstitusi kita tidak mengacu kepada agama khusus apapun, meski Islam adalah mayoritas. Konsep Tuhan, sekali lagi pada akhirnya adalah sesuatu yang dapat diterima oleh semua agama.
Meski Indonesia tidak didasarkan atas agama, tetapi pemisahan antara agama dan negara itu tidak mengingkari dimensi keagamaan dalam bidang politik. Meski agama adalah urusan pribadi, tetapi dalam batas-batas tertentu, ada orientasi keagamaan yang dimiliki secara bersama-sama oleh bangsa Indonesia.
Pilihan kata Tuhan, penulis menganggap sebagai salah satu dimensi keagamaan publik yang diekspresikan dan bolehlah disebut sebagai simbol agama sipil Indonesia. Dan dengan demikian, Pancasila dan UUD 45 adalah konstitusi demokratis yang memberikan peluang kepada semua agama untuk menerimanya sebagai agama sipil. Karena, sepintas kilas ia menghadirkan klaim-klaim agama publik, bukan agama konfesional.

DAFTAR PUSTAKA

Bellah, Robert N. dan Phillip E.Hammond, Varieties of Civil Religion, San Fransisco: Harper & Row, 1980.

Bellah, Robert N., Beyond Belief: Essay on Religion in a Post-Traditional World, terj. Jakarta: Paramadina, 2000.

Cobb, John B., Jr., Process Theology as Political Theology, Manchester¬Philadelphia: Manchester University Press-Westminster Press, 1982.

Coleman, John A, “Civil Religion” dalam Sociological Analysis, 31. Summer 1970.

Durkheim, Emile, The Elementary Forms of Religious Life, New York: Free Press, 1995.

Gamwell, Franklin I., The Meaning of Religious Freedom: Modern Politics and The Democratic Resolution, State University of New York Press, 1995.

Kauper, Paul G., “Legal Aspect of Religious Liberty” dalam George W. Forell et.al., Religious Liberty, New York: Board of Social Ministry Lutheran Church in America, 1968.

Kholiludin, Tedi, “Manusia Tanpa Agama,” Wawasan, 8 Maret 2008.

Koshy, Ninan, Religious Freedom in a Changing World, Geneva: WCC Publications, 1992.

Microsoft ® Encarta ® 2008. © 1993-2007 Microsoft Corporation. All rights reserved.

Naipospos, Bonar Tigor, (ed), Tunduk Pada Penghakiman Massa: Pembenaran Negara atas Persekusi terhadap Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Jakarta: Setara Institute, 2007.

Novak, Michael, “Religion and Liberty: From Vision to Politics” Christian Century, July 6-13, 1988.

Partsch, Karl Josef, “Kebebasan Beragama, Berekspresi dan Kebebasan Berpolitik”, dalam Ifdhal Kasim (ed), Hak Sipil dan Politik: Esai-esai Pilihan, Jakarta: ELSAM, 2001.

Rousseau, Jean-Jacque, On Social Contract, terj. G.D.H.Cole, New York: Dover Publications.

Shank, Andrew, Civil Religion, terj. Yogyakarta: Jalasutra, 2003.

Titaley, John A., “Asian Models of Religious Diversity: The Uniqueness of Indonesian Religiosity,” ed. Alef Theria Wasim et.al., Religious Harmony: Problems, Practice and Education, Yogyakarta: Oasis Publisher, 2005.

_____________, “Negara, Agama-agama dan Hak Asasi Manusia: Mengkaji Ulang Eksklusivisme Agama”, Makalah Disampaikan sebagai studi tematik dalam Sidang Raya XIV Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) di Wisma Kinasih Caringin Bogor tanggal 1 Desember 2004.

Wogaman, Philip, Christian Perspectives on Politics, Kentucky: Westminster John Knox Press, 2000.