Senin, 05 Juli 2010

ALLAH


A L L A H
Olav Schumann
by
Akerina Gerald


Kata Allah berasal dari kata "al" dan "illah" yang artinya The God. Tuhan satu¬satunya. Dalam bahasa Arab perkataan “illah” berarti "Ma'bud" (Tuhan yang disembah, ketuhanan (ilah)) termasuk kekuasaan yang tidak terbatas, sehingga dengan demikian maka semua manusia yang ada di atas dunia ini butuh kepada-Nya dan kepada-Nyalah manusia itu meminta pertolongan, perlindungan dan keselamatan untuk melepaskan diri mereka dari bahaya dan ketakutan serta segala rasa kesusahan yang di deritanya. Perkataan "Allah" adalah dari nama Tuhan yang Maha Suci. Laa Ilaaha Illallah berarti "Tidak ada Tuhan yang patut di sembah selain Allah". Sebelum kehadiran Islam kata ini telah ada sebagai nama dari salah satu illah yang dipercayai oieh para penyembah berhala di Mekkah sebagai "The Supreme God", Tuhan yang Maha Tinggi atau paling tinggi dari antara illah-illah lain. Malahan Allah ini dipercayai sebagai Tuhannya ka'bah yang menjadi bapak secara biologis dari pada al Manaf.
Yang dimaksud dengan kepercayaan kepada Allah, ialah percaya bahwa Allah mempunyai sifat-sifat sempurna, dan bebas dari sifat-sifat yang tidak sempurna. Dua puluh sifat Allah dan semuanya itu wajib artinya menurut hukum akal tidak boleh tidak, ada pada Allah, yakni :
1) Bahwa Allah ada (wujud). Dan wujud Allah itu karena zatnya, bukan karena sesuatu yang lain, dan adanya itu wajib : mustahillah bahwa Allah tidak ada. Bukti yang mengatakan bahwa Allah ada ialah bahwa se alam dunia ini terjadi pada suatu masa. Dunia ini tidak kekal sebab nyata sekali bahwa dunia dipengaruhi oleh sifat rupa-rupa, misalnya ketenangan dan keguncangan, yang tidak kekal, maka nyatalah bahwa dunia ini dijadikan pada suatu masa, sebab itu tentulah ada yang menjadikannya.
2) Bahwa Allah dahulu tidak bermula (Qidam), artinya bahwa Allah itu dahulu tidak berpermulaan yang berarti demikian, maka tentu Allah dijadikan juga pada suatu masa di dalam peredaran zaman.
3) Bahwa Allah kekal tidak berkesudahan (baqa). Sekiranya adanya Allah tidak kekal, maka tidak dapat tidak ada kesudahanya, hat mana mustahil adanya.
4) Bahwa Allah berlainan dengan segala yang baru, yaitu segala makluk. Andaikata Allah bersamaan dengan yang baru (mahkluk) yang dijadikannya, pastilah Allah sendiri mahkluk juga, hal mana mustahil adanya.
5) Bahwa Allah berdiri dengan sendirinya. Maka mustahillah bahwa Allah tidak berdiri dengan sendirinya. Sesungguhnya Allah itu yang kaya dari sekalian alam dan tiada bergantung pada barang lain apapun.
6) Bahwa Allah Esa adanya. Artinya, bahwa Allah itu Esa zat-Nya, Esa sifat-Nya dan Esa afa-Nya. Maka mustahillah, bahwa Allah berbilang zat-Nya, sifat-Nya dan Afa-Nya. Artinya tidak ada Tuhan lain yang menjadi sama dengan-Nya atau sesuatu yang lain yang sama dengan Dia, baik menurut tokohnya maupun menurut martabatnya. Maksudnya bwa Allah hanya satu saja, maka ialah yang menjadikan segala sesuatu. Hal itu setuju dengan bunyi Al-Qur'an : Allah Esa adanya, tiada taranya. Sura 112 : "Katakanlah la saja Allah, Esa adanya, Allah kekal, la tidak memperanakan dan tidak diperanakan, maka tidak ada yang setara dengan Dia". Segala sesuatu yang ada, mahkluk adanya, artinya kejadian abdi Allah, derajatnya di bawah Allah dan fana adanya.
7) Bahwa Allah kuasa (Qudrat) adanya ; maka mustahillah Allah itu lemah.
8) Bahwa Allah menghendaki (iradat). Artinya bahwa Allah berkemauan, dan menghendaki dan tak suatupun terjadi tidak dengan kemauan dan kehendak-Nya.
9) Bahwa Allah mengetahui (alim) akan tiap-tiap, dan mustahillah bahwa Allah jahil (tidak tahu).
10) Bahwa Allah itu hidup (hayat) karena itu mustahil bahwa Allah itu mati (maut).
11) Bahwa Allah mendengar (sama) segala dan mustahillah bahwa Allah tuli.
12) Bahwa tak ada suatu pun yang tersembunyi bagi penglihatan orang biasa. Orang biasa melihat dengan mata, Allah melihat (besar) tidak dengan sesuatu apa.
13) Bahwa Allah itu berkata (kalam) mustahillah bahwa Allah itu kelu. Manusia berkata dengan alat yang terdiri dari mulut, lidah dan bibir, tetapi Allah tidak demikian.
14) Sifat yang kuasa (Qadir)
15) Sifat yang menghendaki (Murid) Sifat yang mengetahui (alim) Sifat yang hidup (hayyun)
16) Sifat yang mendengar (samiun) Sifat yang melihat (basirun)
17) Sifat yang berkata-kata (mutakallimun).

Ketujuh sifat yang terakhir itu bergantung kepada tujuh sifat yang pertama, yang disebut sifat Ma'ani, yaitu sifat-sifat yang harus dianggap ada pada Allah, sebab la Allah. Maka ketujuh sifat yang terakhir, yang bergantung kepada sifat Ma'ani itu, disebut sifat Ma'nawiyah. Qudrat sifat Ma'ani, qadir sifat Ma'nawiyah.
Sifat yang pertama dari enam sifat yang pertama disebut sifat nafsiyah. Dan kelima sifat berikutnya disebut sifat salbiyah. Jadi sifat Allah yang dua puluh itu dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu :
1. Sifat nafsiyah yaitu sifat pertama. Yakni akal manusia tidak terima bahwa ada Allah yang tidak mempunyai sifat-sifat.
2. Sifat salbiyah yaitu kelima sifat berikutnya. Artinya sifat-sifat itu Cuma ada pada Allah saja"
3. Sifat ma'ani yaitu ketujuh sifat berikufiya. Yaitu sifat-sifat yang harus di anggap ada pada Allah sebab, la Allah.
4. Sifat ma'nawiyah yaitu ketujuh sifat yang bergantung kepada ketujuh sifat ma'ani itu. Artinya Allah mempunyai segala kekuasaan (qudra), maka karena itu Allah Maha Kuasa adanya (qadir).
Menurut anggapan umat Islam yang terutama ialah wujud artinya Allah ada maka segala sesuatu dijadikan oleh Allah, oleh sebab itu sifat Allah, sebenarnya tak perlu lagi disebut sifat yang lain, misalnya hidup. Pada perasaan orang muslim, yang termulia sifat Maha Kuasa Allah. Allah tidak perlu bantuan siapapun maka semua orang takluk kepada¬Nya. Sifat Allah dua puluh itu semuanya wajib artinya tidak boleh tidak ada pada Allah. Disamping itu ada sifat-sifat yang mustahil adanya, yaitu sifat-sifat yang adanya tidak terdapat dalam akal. Misalnya sifat "adam" (tak ada) sebagai lawan dari sifat "wujud", sifat "fana" sebagai lawan dari sifat "baga".


Catatan Kaki
Bambang Ruseno Utomo, Sebuah Pendahuluan Mengenal Islam, Malang: IPTh Bale Wiyata, 1990, hal. 32
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Islam Tassawuf, Surabaya: PT Bina Islam, hal. 125.
Soebardi Harsoio, Pengantar Sejarah dan Ajaran Islam, Jakarta: Bina Cipta, 1983, hal. 84-85.
H. Kraemer, Agama Islam, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1951, hal. 234.
Kuliah Islamologi Ferbuari 2010 dari Olav Schumann.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar