Kamis, 15 Juli 2010

KEBEBASAN BERAGAMA, AGAMA SIPIL DAN KONSTITUSI DEMOKRATIS


KEBEBASAN BERAGAMA, AGAMA SIPIL DAN KONSTITUSI DEMOKRATIS: REFLEKSI TEORITIS

Oleh : Pdt. Prof. DR. John A. Titaley

I. Pendahuluan
Permasalahan kebebasan beragama memang telah menjadi suatu problematika politik modern. Problematika politik modern merujuk pada suatu kondisi dalam mana agama yang dominan dalam suatu negara kehilangan otoritas politiknya. Pada saat yang sama keadaan di atas ditandai dengan munculnya kebebasan untuk memilih keyakinan keagamaan dilkalangan komunitas politik.
Sebagai implikasinya, memberikan angin bagi kebebasan memeluk agama memungkinkan munculnya pelbagai varian dan aktivitas keyakinan keagamaan. Dalam konteks inilah muncul dilema berikut dalam politik modern, yakni bagaimana hidup bersama dalam sebuah bangsa dengan keyakinan agama yang plural. Sampai di sini, ada banyak ide yang ditawarkan sebagai solusi atas persoalan tersebut, salah satunya adalah tentang agama sipil.
Dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia, sejarah mencatat bahwa sejak awal perumusan sampai ditetapkannya sebagai dasar negara,tidak seorang pun dari para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menganggap Pancasila sebagai suatu keyakinan keagamaan. Karenanya, meski-pun ia dianggap sebagai staatsfundamentalnorm, kepribadian bangsa, moral pembangunan, sumber dari segala sumber hukum dan sederet predikat lainnya, kehadirannya tidak bisa dianggap sejajar dengan agama yang jelas-jelas memiliki hak untuk menja-wab permasalahan manusia yang bersifat komprehensif, seperti dijelaskan di atas. Atas dasar inilah maka apapun predikat yang disandang oleh Pancasila, ia tetap ditujukan untuk menjawab permasalahan hidup manusia yang bersifat partial, yakni permasalahan yang menyangkut pengaturan negara.
Atas dasar ide di atas, maka makalah ini akan dengan melihat interkoneksi di antar tiga isu besar dalam politik modern yakni kebebasan beragama, agama sipil dan konstitusi demokratis. Penulis bermaksud untuk melihat ketiganya sebagai skema teoritis yang memiliki keterkaitan satu dengan lainnya.

II. Proteksi Yuridis Kebebasan Beragama
Bagian ini adalah upaya penulis untuk menyisir sejumlah aturan yang menjadi pagar pengaman bagi kebebasan beragama. Aspek ini dilindungi dalam dokumen International Covenant on Civil and Political Rights atau ICCPR. Dalam pasal 18 ICCPR dikatakan:
(1). Everyone shall have the right to freedom of thought, conscience and religion. This right shall include freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice, and freedom, either individually or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in worship, observance, practice and teaching.
(2) No one shall be subject to coercion which would impair his freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice.
(3) Freedom to manifest one's religion or beliefs may be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals or the fundamental rights and freedoms of others.
(4) The States Parties to the present Covenant undertake to have respect for the liberty of parents and, when applicable, legal guardians to ensure the religious and moral education of their children in conformity with their own convictions.
Karl Josef Partsch menambahkan bahwa pasal 18 tersebut menjamin hak-hak yang amat fundamental. Jaminan umum yang terkandung dalam paragraf pertama barangkali akan sangat sulit untuk diwujudkan. Meski tidak jelas definisi tentang thought, conscience dan religion, semuanya dapat mencakup pengertian individual atas keyakinannya terhadap dunia, masyarakat dan zat yang menentukan nasib dan takdir dunia, sifat ketuhanan, makhluk superior ataupun hanya rasio dan rasionalisme atau kesempatan.
Kata ”thought” mencakup pemikiran sosial dan politik, conscience juga bararti keseluruhan moralitas dan religion tidak hanya dibatasi kepada kepercayaan teistis saja, tetapi juga terdiri dari kepercayaan-kepercayaan non-teistis, bahkan ateistis. Meski secara privat dan publik ada jaminan kebebasan untuk beragama, tetapi manifestasi dari sistem keyakinan keagamaan tersebut haruslah menghormati hak fundamental orang lain. Mesti ada pertimbangan kebutuhan umum dalam ekspresi tersebut, dan yang pasti pertimbangan kebutuhan publik itu tidak boleh ditempatkan bertentangan dengan kepercayaan personal.
Kebebasan beragama, selain mendapat legitimasi yuridis dalam ICCPR, juga termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Dalam deklarasi ini disebutkan ”Everyone shall have the right to freedom of thought, conscience and religion. This right shall include freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice, and freedom, either individually or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in worship, observance, practice and teaching”.
Dalam Deklarasi PBB 1981 mengenai ”Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi berdasarkan Agama atau Keyakinan” yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pasal 18 ditegaskan bahwa kebebasan beragama berarti juga bebas untuk tidak beragama dan berpindah agama. Sebagaimana yang dinyatakan Komite Hak Asasi Manusia PBB: “The Committee stated that 'religion or belief' includes minority and non mainstream religions and theistic, non-theistic and atheistic beliefs. Article 18 also protects the freedom not to believe”.
Dengan demikian ada beberapa turunan dari aturan ini yakni :
1. Hak (kebebasan) untuk memeluk/ menganut suatu agama atau kepercayaan sesuai pilihannya.
2. Hak (kebebasan) untuk mewujudkan/ melaksanakan agama/ keyakinan.
3. Hak (kebebasan) untuk beribadat dan berkumpul, dan untuk mendirikan atau mengelola tempat peribadatan;
4. Hak (kebebasan) untuk mendirikan dan mengelola lembaga amal atau lembaga kemanusiaan yang pantas;
5. Hak (kebebasan) untuk membuat, memperoleh dan menggunakan material yang berhubungan dengan ritual dan adat;
6. Hak (kebebasan) untuk menulis, mengeluarkan dan menyebarkan terbitan yang relevan di bidangnya;
7. Hak (kebebasan) untuk mengajarkan agama atau kepercayaan di tempat yang sesuai untuk tujuan itu;
8. Hak (kebebasan) untuk mengumpulkan dan menerima bantuan keuangan dan sumbangan lain;
9. Hak (kebebasan) untuk melatih, menunjuk, memilih atau mencalonkan pemimpin yang tepat;
10. Hak (kebebasan) untuk menghormati hari-hari istirahat dan merayakan hari libur-hari libur dan merayakan upacara keagamaan; dan
11. Hak (kebebasan) untuk mendirikan dan mengelola komunikasi- komunikasi dengan individu dan kelompok di tingkat nasional dan Internasional.
Jaminan serupa diberikan oleh dunia dalam Deklarasi Hak Orang-orang yang ternasuk Bangsa atau Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Minoritas. Deklarasi tersebut menegaskan dalam pasal 1 bahwa negara akan melindungi eksistensi dan identitas kebangsaan, sukubangsa, budaya, agama dan bahasa kaum minritas dalam wilayahnya dan akan mendorong kondisi-kondisi yang memajukan identitas tersebut.
Semangat untuk melindungi kebebasan beragama, ditetapkan PBB dalam United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples atau yang kerap disebut sebagai Dekarasi PBB atas Hak Masyarakat Adat. Deklarasi ini adalah proteksi internasional bagi hak masyarakat adat. Ini artinya bahwa dunia mengakui eksistensi serta kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat pribumi di masing-masing negara.
Salah satu poin yang ada dalam deklarasi tersebut adalah hak masyarakat pribumi untuk menjaga sistem keyakinannya. Lengkapnya hal itu tercantum dalam Pasal 25 yang berbunyi “Indigenous Peoples have the right to maintain and strengthen their spiritual relationship with their traditionally owned or otherwise occupied and used lands, territories, waters and coastal seas and other resources and to uphold their responsibilities to future generations in this regard”.
Di Indonesia, jaminan konstitusional terhadap hak ini muncul antara lain dalam Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen. Pasal itu menyebutkan:
1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
2. Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
3. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Secara normatif, ketentuan dari pasal ini menjadi legitimasi yuridis bahwa kebebasan beragama dan tidak beragama mendapat jaminan. Tidak hanya itu, bahwa agama apapun sejatinya mendapat pengakuan dari negara. Ini dikarenakan ekspresi keberagamaan dan berkeyakinan warga negara mendapat jaminan yang setara dari negara. Kalau dilihat korelasinya dengan konstitusi PBB, maka pasal ini sesungguhnya merupakan ekuivalen dengan pasal 18 ICCPR. Hal ini kemudian ditegaskan dalam pasal 29 ayat 2.
Jaminan konstitusional berikutnya dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Dengan ratifikasi itu, maka Indonesia menjadi Negara Pihak (State Parties) yang terikat dengan isi ICCPR.
Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan landasan normatif bahwa agama dan keyakinan merupakan hak dasar yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam pasal 22 ditegaskan:
1. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Dalam pasal 8 juga ditegaskan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.
Proteksi legal itu sejatinya tengah mengandaikan peran negara agar ia senantiasa menjadi payung untuk melindungi hak beragama warganya. Hal itu dimungkinkan karena hak beragama tidak hanya merupakan hak asasi manusia tetapi juga telah menjadi hak sipil. Pertanyaannya kemudian apa sebenarnya yang dimaksud dengan kebebasan beragama sehingga perihal kebebasan tersebut mendapat perhatian dunia internasional dan harus ada perlindungan secara hukum?

III. Aspek Kebebasan Beragama
Kebebasan beragama, dalam bahasa Inggris memiliki dua pengertian, religious freedom dan religious liberty. Keduanya biasa digunakan secara bergantian dengan makna yang tidak berubah. Bedanya, barangkali ada pada konteksnya. Jika religious freedom merupakan konsep yang luas, sementara religious liberty digunakan dalam konteks yang spesifik dalam wilayah hak hukum dan politik. Karena tidak memiliki signifikansi yang pada akhirnya akan merubah maksud pengertian, penulis dalam karya ini akan menggunakan dua frase (religious freedom dan liberty) tersebut dalam satu makna dan secara bergantian digunakan.
Paul G. Kauper melihat bahwa religious liberty secara umum dipahami sebagai salah satu aspek paling fundamental dari kebebasan sipil. Bagi Kekristenan, semua aspek dari kebebasan sipil berakar dalam sebuah fakta bahwa manusia diciptakan Tuhan untuk mengabdi kepadaNya. Dalam dunia modern fondasi keberagaman ini tidak hanya berlaku bagi pemeluk agama-agama dunia tetapi juga dimaksudkan untuk menjaga kebebasan beragama bagi penganut pseudo agama seperti halnya Marxisme, Biologisme, Rasisme dan Statisme.
Ninan Koshy, dengan mengutip pendapat Carillo de Albornoz membagi kebebasan beragama ke dalam empat aspek. Pertama, kebebasan nurani (liberty of conscience). Kedua, kebebasan mengekspresikan keyakinan keagamaan (liberty of religious expression). Ketiga, kebebasan melakukan perkumpulan keagamaan (liberty of religious association). Keempat kebebasan menginstitusikan keagamaan (liberty of religious institutionalization).
Aspek pertama dari keempat wilayah tersebut memiliki sifat yang absolut atau pure religious liberty. Dan ia merupakan bagian dari internal aspect of religious freedom. Dalam aplikasinya, yang disebut sebagai freedom of conscience juga sering dimaknai sebagai freedom of religion. Karena kebebasan nurani adalah aspek internal maka tiga aspek yang lain adalah aspek eksternalnya. Atau kebebasan nurani adalah sword of the spirit tiga yang lain adalah sword of steel.


Tentang kebebasan nurani, Michael Novak mengatakan:

This liberty of conscience transcends any and all political orders. Human freedom rooted in God declares that all states and all political orders are under God, limited not omnipotent. States can crush or kill human beings, but they cannot alienate them from their responsibility to God and conscience.

Sementara Franklin I. Gamwell dalam ”The Meaning of Religious Freedom” memaparkan bahwa kebebasan nurani inilah yang hanya bisa dipahami secara jernih jika agama ditempatkan dalam kategori narrowly defined. Menurut Gamwell,

Religion is the primary form of culture in terms of which the comprehensive question is explicitly asked and answered and further, so answered that human authenticity is derived from the character of reality as such. In saying this I mean that the distinction between authentic and inauthentic human activity is identified by the relation of human activity to reality as such or ultimate reality. Whether that ultimate reality is understood as Yahweh, Allah, ”emptiness”, or in some other way, it is understood to be the ground of human authenticity. The point may also be expressed by saying that religion, narrowly understood, so addresses the comprehensive question that ultimate reality is said to authorize human authenticity.

Dengan mengacu pada pengertian di atas, maka Gamwell menyinggung mengenai soal autentisitas atau keaslian manusia. Bahwa ia hanyalah bisa diidentifikasi terkait dengan relasinya terhadap aktifitas manusia untuk meyakini eksistensi ultimate meaning of life. Meski realitas tertinggi itu bisa berbentuk ”ketiadaan”.
Kembali pada keterkaitan antara internal dan eksternal aspek dalam kebebasan beragama. Inner Freedom dengan demikian memiliki status yang sama dengan dimensi eksternalnya. Wilayah eksternal adalah manifestasi dari dimensi internal keberagamaan yang akan bersinggungan dengan wilayah publik. Dalam konteks ini, aspek eksternal di dalamnya mengandung bentuk ketaatan untuk melaksanakan upacara keagamaan, termasuk asosiasi keagamaan pemeluknya, mengekspresikan komitmen keberagamaan, pengajaran dan penyebaran kepercayaan. Apa yang secara umum dipahami sebagai kebebasan beragama juga harus dipahami sebagai kebebasan dalam konteks manifestasi dimensi eksternal agama itu.
Jika aspek internal dari kebebasan beragama bersifat absolut, tidak demikian halnya dengan dimensi eksternalnya yang bersifat relatif. Relativitas sifat dari dimensi eksternal ini dipahami karena agama tidak selalu berbicara tentang keyakinan personal. Agama juga hadir dan bersentuhan dalam wilayah sosial serta berkaitan dengan institusi lainnya. Atas dasar ini, maka sekali lagi, kebebasan beragama termasuk juga di dalamnya kebebasan untuk mengekspresikannya. Karena agama, tidak hanya menyangkut keyakinan personal, tetapi juga berarti di dalamnya adalah manifestasi atas keyakinan tersebut.
Wilayah eksternal dari kebebasan beragama menyediakan ruang yang cukup lapang bagi institusi agama untuk bersentuhan dengan formasi lain kehidupan. Dengan demikian, kebebasan dalam menginstitusionalisasikan agama juga pada akhirnya adalah sebuah teka-teki politik dimana umat beragama juga mesti melakukan perhitungan dengan cermat tentang suatu siasat.
Sekedar perbandingan, pembagian aspek kebebasan beragama dijelaskan oleh Kauper dalam ”Legal Aspects of Religious Liberty”. Kauper menjelaskan tentang dua model kebebasan beragama yakni kebebasan pribadi dan kebebasan gereja sebagai korporasi.
Kebebasan individual didalamnya memuat lima prinsip kebebasan. Pertama, kebebasan nurani dan berkeyakinan. Kedua, kebebasan beribadah. Ketiga, kebebasan untuk menyebarkan ide-ide keberagamaan. Keempat, kebebasan dalam hal pendidikan dan kehidupan keluarga. Kelima, kebebasan dari agama yang disponsori negara.
IV. Kebebasan Beragama dalam Sistem Politik
Jika agama dipahami sebagai primary form of culture, maka politik, kata Gamwell adalah “a specific form of association in which the question of the state is explicitly asked and answered”. Dari sini bisa dimengerti kalau negara tidak lain dari seperangkat aktifitas sebuah pemerintahan dimana semua asosiasi dan aktifitas diberikan oleh masyarakat atau komunitas yang secara eksplisit disatukan atau diatur, dan karenanya selalu dinyatakan secara partikular.
Pertanyaannya kemudian, jika agama sebagai satu bentuk khas dari budaya berusaha menjawab pertanyaan secara komprehensif, apa yang harus dijawab oleh politik?
Definisi tentang politik yang telah diajukan oleh Gamwell di atas, sebenarnya menolong untuk memahami bahwa sebagai sebuah bentuk spesifik dari aktifitas, atau hanyalah satu bentuk asosiasi, maka aktifitas politik diidentifikasi sebagai partisipasi dalam politik atau body politics. Jika agama menjawab semua persoalan baik yang terkait dengan kehidupan fisik maupun metafisik, politik hanyalah menjawab pertanyaan eksplisit mengenai tugas negara sebagai pengatur lalu-lintas hak warganya.
Maksud dari asosiasi politis atau negara adalah untuk menentukan aktifitas-aktifitas apa yang harus dan akan dilakukan negara. Tentunya, pertanyaan itu bisa diajukan dan dijawab secara kritis, yang disitu klaim tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh negara dapat disepakati secara eksplisit dan aktifitas politik juga bisa mengambil bentuk ini.
Aktifitas politik, dengan demikian adalah partisipasi dalam proses politik. Meskipun maksud dari politik adalah untuk menentukan aktifitas negara, hal itu juga berarti refleksi kritis terhadap pertanyaan negara, juga merupakan aktifitas politik, yakni ketika partisipasi politik diambil dalam bentuk argumen atau perdebatan.
Kebebasan beragama, dalam pandangan Gamwell, karenanya bisa dilihat tidak lain dari sebentuk prinsip politik yang tidak memiliki makna secara koheren tanpa sebuah asosiasi politik yang dikonstitusikan melalui sebuah free discussion dan perdebatan yang didalamnya melibatkan keyakinan-keyakinan yang berbeda.
Meski dihadirkan dengan bahasa yang sedikit berbeda, ide Gamwell dalam batas-batas tertentu sejalan dengan paparan John Cobb, Jr yang memunculkan gagasan tentang teologi sejarah (the theology of history). Dalam pandangan Cobb Jr, mengutip Whitehead, suatu teologi sejarah hanya bisa terjadi apabila ada kebebasan (freedom) dan kebebasan tidak bisa berdiri sendiri tanpa kesetaraan (equality). Kebebasan dan kesetaraan ini haruslah kongkrit dalam bentuk hak yang dijamin hukum.
Selain harus ada konkretisasi jaminan kebebasan dalam sebuah konstitusi yang demokratis. Tentang ide ini, Cobb Jr, menekankan akan pentingnya pemahaman terhadap teologi politik. Cobb Jr, menyarikan model pemahaman terhadap teologi politik dengan disandarkan pada teologi proses. Teologi politik, dapat dipahami sebagai bagian dari teologi pembebasan. Keharusan agar teologi proses menjadi teologi politik berarti bahwa teologi proses harus menjadi komitmen dasar, meminjam bahasa Dorothee Solle, “to indivisible salvation of the whole world.”
Bagi para teolog politik, teori (politik) difungsikan sebagai pelayan dalam praktek di lapangan. Teori ini dibutuhkan agar yang terjadi di lapangan bukanlah sebuah blind activism. Aktifitas haruslah didasarkan pada ancangan teori dan kerangka berpikir yang memadai. Apa yang menjadi penting adalah bahwa pemikiran tidaklah harus dilihat sebagai akhir dari segalanya atau sebagai makna untuk memperoleh kebenaran yang hanya setelah itu dikaitkan dengan tindakan di dunia. Sebagai manusia beragama, kata Cobb Jr, kita harus terlibat dalam refleksi, meski itu refleksi abstrak, karena kita memerlukan sebuah tindakan yang benar. Dan tentu inilah bagian dari political action. Dengan kata lain, Cobb Jr, sebenarnya tengah mengajukan tesis bahwa beragama sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan berpolitik. Dan karenanya beragama sama dengan berpolitik.
Tetapi persoalan tidak berhenti sampai disini. Relasi antara politik dan agama menjadi problematika dalam masyarakat politik modern karena dalam komunitas ini mengandung pluralitas legitimasi agama. Mengenai paradigma relasi agama dan politik ada dua pandangan yang akan dikemukakan, yakni dari Philip Wogaman dan MM. Thomas (yang kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh John. A Titaley).
Philip Wogaman menulis bahwa ada empat bentuk (baca: negara) dalam kaitannya dengan eksistensi gereja. Pertama, Teokrasi, dimana negara berada di bawah kontrol para pemimpin atau institusi agama untuk kepentingan agama. Negara teokrasi dapat tergambar dalam masyarakat primitif seperti Tibet, sekte Mormon awal di Utah, negara-negara Islam di Timur Tengah termasuk diantaranya Iran. Model ini juga yang tergambar pada pemerintahan Vatikan II yang didasarkan pada doktrin Katolik.
Kedua, erastianisme yang merupakan model dimana gereja berada dibawah otoritas negara. Sebagai sebuah paradigma, Erastianisme diambil dari nama pencetus gagasan ini Thomas Erastus (1524-1583), seorang ahli fisika asal Swiss yang juga Teolog Protestan. Sesungguhnya Erastus tidak menjabarkan doktrinnya ini dalam sebuah bentuk yang ekstrem. Idenya tersebut berakar pada zaman kuno dan ditemukan dalam bentuk yang berbeda oleh para filosof abad pertengahan seperti Marsilius Padua dari Italia.
Erastus, merupakan penerus ajaran Huldreich Zwingli, yang menentang model Calvinis yang disukai oleh Elector Frederick III. Erastus menentang ide John Calvin mengenai excommunication (pengucilan), dimana para anggota dewan gereja dapat mengeluarkan masyarakat dari Ekaristi. Menurut Erastus, hanya negara yang memiliki kekuasaan koersif, yang dapat digunakan sebagai aturan gereja, tetapi tidak pernah dapat menghalangi siapapun untuk keluar dari “Holy Communion”.
Ninan Koshy menambahkan bahwa kategori yang paling tepat untuk menggambarkan model ini adalah “established church”. Disini, negara memiliki agama yang menjadi “the golden boy”. Agama yang mapan alias “the golden boy” itu dipenuhi haknya, sementara agama yang lain tidak. Dalam hukum Inggris, sebagaimana terlihat dalam perdebatan mengenai hukuman terhadap Shalman Rushdie penulis “The Satanic Verse”, pasal-pasal blasphemy atau penodaan agama diterapkan hanya terhadap Kekristenan dan secara spesifik terhadap Gereja Inggris (The Church of England).
Tetapi, di saat yang sama, meski agama tertentu memiliki hak istimewa, tetapi sesungguhnya agama tersebut tidak dapat sepenuhnya mengekspresikan ajaran agama secara bebas, karena keputusan-keputusan yang bersifat strategis selalu didasarkan atas seberapa besar keuntungan yang pada nantinya akan didapatkan negara. Inilah yang menjadi pangkal persoalan dari model Erastianisme. Di satu sisi, ia hanya berkutat pada kepentingan agama tertentu dan di sisi lain kepentingan agama anak emas itupun dipagari agar tidak membahayakan kepentingan negara.
Ketiga, pemisahan antara agama dan negara secara ramah, yakni model pemisahan antara agama dan institusi politik secara legal tetapi satu yang lain tidak saling bermusuhan. Keempat, pemisahan antara agama dan negara secara tidak ramah, yaitu pemisahan secara legal dan dalam posisi yang antagonistik.
Model relasi antara agama dan negara berikutnya diberikan oleh MM.Thomas sebagaimana dikutip oleh John A. Titaley dalam ”Asian Models of Religious Diversity”. Thomas, Teolog asal India, mengembangkan empat model negara dalam relasinya dengan dunia sekuler. Pertama, negara sekularistik (secularistic state). Ini adalah sebuah negara dimana agama dicegah dan tidak didukung eksistensinya. Agama tidak diakui sebagai bagian dari negara dan tidak memiliki peran dalam ruang publik. Republik Rakyat Cina selama masa Revolusi Budaya mempraktekan model ini.
Kedua, negara sekuler (secular state). Negara yang menganut paradigma ini, memberikan jalan bagi agama untuk eksis dan diakui oleh negara. Hanya saja ada pembatasan dalam model ini. Agama tidak boleh dilibatkan dalam kehidupan politik. Pemisahan tegas antara state-church, mutlak diberlakukan. Negara yang menganut filosofi ini cukup banyak, termasuk di antaranya Amerika, Australia dan lain-lain.
Ketiga, negara religius (religious state). Bentuk negara semacam ini adalah negara dimana salah satu agama diakui sebagai agama resmi negara tersebut. Karenanya, aturan-aturan publik dijalankan dengan mengacu pada aturan yang terkodifikasi dalam agama tersebut. Ada kemungkinan bahwa agama lain, yang tidak menjadi agama resmi negara menjadi agama kelas dua. Model ini juga bisa dikatakan sebagai model teokrasi. Kebanyakan negara di Timur Tengah, menganut model ini.
Keempat, negara pancasila (pancasila state). Negara model ini memberikan ijin sepenuhnya kepada agama dan aliran kepercayaan untuk hidup tak hanya itu, agama dan aliran kepercayaan juga (seharusnya) diakui oleh negara. Agama dan aliran kepercayaan juga diberikan ruang untuk berpartisipaasi dan menjalin hubungan dengan kehidupan politik. Indonesia adalah negara yang menjalankan paradigma ini.
Kalau merujuk pada paparan Wogaman, maka relasi ketiga, yang memberikan peluang untuk berlangsungnya sebuah kehidupan yang lebih baik. Sementara, jika merujuk pada paparannya Thomas, maka negara Pancasila adalah sebuah model yang sekarang kita jalankan.
Meski begitu, baik arahan Wogaman maupun petunjuk ala Thomas tidak bisa bermakna jika relasi yang saling menguntungkan itu tidak diakomodir oleh konstitusi. Inilah yang dalam fenomena politik modern dikenal sebagai constitutional issue. Hal ini berarti bahwa prinsip konstitusional bisa diidentifikasi sebagai kondisi optimal dimana semua klaim politik, termasuk di dalamnya semua keyakinan keagamaan, dapat diterima secara publik, sebagai bagian dari proses politik.
Konstitusi yang demokratis haruslah merupakan ekspresi dari setiap pemahaman keagamaan. Dan karenanya konstitusi itu harus dapat diterima oleh setiap kelompok keagamaan. Jika dalam sebuah konstitusi tidak mengandung dua prinsip itu, maka konstitusi itu belumlah dinamakan sebagai democratic constitution. Karena konstitusi adalah wilayah publik, maka bahasa yang harusnya diakomodir adalah bahasa keagamaan yang universal. Dan hal ini hanya dimungkinkan jika warga masyarakat sebagai umat beragama bisa menempatkan idiom keagamaan dalam satu kerangka bersama yang universal, bukan partikular.

IV. Konstitusi Demokratis dan Agama Sipil
Penulis mencoba menarik gagasan mengenai democratic constitution ke ranah civil religion. Dengan asumsi bahwa eksistensi agama sipil bisa dimanifestasikan dalam satu kerangka pemahaman konstitusional yang demokratis. Karena konstitusi demokratis mestilah merupakan kompromi dari berbagai partikel-partikel identitas primordial, begitu pula halnya dengan agama sipil. Inilah yang menjadi titik temu antara konstitusi demokratis dengan agama sipil. Agama sipil merupakan salah satu jalan keluar saat menghadapi sebuah masyarakat yang plural.
Bolehlah disebut bahwa konstitusi yang demokratis adalah manifesto dari agama sipil. Untuk menguatkan argumentasi dari konsep agama sipil ini, maka penulis akan mencari akar pemikirannya dari Rousseau, Emile Durkheim, Robert N.Bellah serta yang agak baru, Andrew Shank.
Sejauh yang penulis dapatkan dan pahami dari beberapa literatur, Jean-Jacques Rosseaulah yang kali pertama mengenalkan konsep mengenai civil religion. Dalam magnum opusnya, On Social Contract, Buku IV, Rosseau membagi agama menjadi dua, agama manusia dan agama masyarakat. Model pertama oleh Rosseau digambarkan sebagai natural divine right or law, sementara yang kedua ia menyebutnya sebagai civil or positive divine right or law.
Agama manusia menurut Rousseau adalah agama yang menekankan pada aspek moralitas dan penyembahan kepada Tuhan. Rousseau menyebut juga agama ini sebagai “the religion of Gospel”. Sementara, agama masyarakat, yang kelak disebut sebagai agama sipil, adalah agama sebuah masyarakat yang dipeluk suatu bangsa. Agama ini terorganisir dan hirarkis serta terikat dengan dogma-dogma formal. Agama ini mengajarkan cinta tanah air, ketaatan pada Negara dan nilai-nilai pengorbanan.
Bahasan mengenai agama sipil oleh Rousseau mendapatkan porsi yang cukup lebih. Ia merasa perlu untuk mengkampanyekan gagasan ini karena dua hal. Pertama, Agama Sipil perlu dimunculkan untuk memberikan sistem kepercayaan pengganti bagi mereka yang kepercayaannya telah dihancurkan oleh kekuatan-kekuatan pencerahan abad pertengahan. Kedua, selain itu Agama Sipil bertujuan untuk menyelaraskan dan mencari kesinambungan antara agama dan politik.
Agama sipil merupakan otoritas baru sebagai sumber legitimasi untuk menentukan batas-batas yuridiksi dan memberikan persetujuan-persetujuan transedental. Untuk kedua persoalan tersebut di atas Rousseau menawarkan gagasan agama sipil. Disebut sebagai agama, karena dia menginginkan sumber otoritas yang bebas dari rezim yang berkuasa (negara), dan disebut sipil karena dia menginginkan bebas dari pengaruh gereja.
Bagi Rosseau, agama sipil tetaplah harus memiliki dogma. Dan dogma yang dikembangkan agama model ini haruslah sederhana. Mempercayai eksistensi Tuhan, kehidpan yang akan datang, pahala bagi yang berbuat baik, hukuman bagi yang berbuat jahat, sanksi dari kontrak sosial dan hukum. Hal tersebut adalah dogma positif dari agama sipil. Sementara yang negatif, kata Rosseau terdiri dari intoleransi yang merupakan bagian dari kultus yang mesti ditolak.
Sebagai kesimpulan, agama sipil berarti bahwa ia merupakan suatu kesetiaan warga masyarakat yang diikat oleh sebuah kontrak sosial yang merupakan hasil kesepakatan diantara mereka untuk mencapai bersama-sama kehendak umum mereka (general will), yakni keadilan dan kesejahteraan bersama. Jika kehendak umum tersebut dimengerti dengan baik serta memiliki nilai transendental, maka adalah tugas setiap warga negara untuk menjalankan perannya dengan baik di masyarakat sehingga berguna bagi sesamanya. Terhadap pemahaman imaniah seperti inilah, pemerintah perlu mengaturnya dalam berbagai aturan, bukan sebagai dogma, tetapi sebagai suatu tuntutan sosial yang tanpanya, seseorang tidak bisa menjadi warga negara yang baik atau rakyat yang setia. Pemahaman imaniah seperti itu tidak sama dengan agama seseorang.
Gagasan Rousseau tentang agama sipil itu juga tercermin dalam magnum opusnya Durkheim, ”The Elementary Forms of Religious Life”. Jika Rousseau memunculkan istilah mengenai agama sipil, Durkheim menemukan dasar yang asasi dari agama sipil tersebut. Dalam buku yang berusaha untuk melihat bentuk-bentuk awal dari kepercayaan ini Durkheim melihat bahwa setiap masyarakat memiliki keunikannya tersendiri dalam soal keyakinan. Mereka, lanjut Durkheim memiliki kesadaran bersama (collective consciusness) dalam sebuah ritual. Upacara itu untuk memilah warna kehidupan yang sakral dari yang profan.
Hemat penulis, inilah filosofi dari apa yang oleh Rousseau disebut sebagai agama sipil tersebut. Durkheim berpendapat bahwa format dasar dari kepercayaan itu dari kolektifitas individu yang menyatukan asas moralnya. Agama lebih merupakan ekspresi masyarakat yang terintegrasi daripada sebagai sumber integrasi masyarakat.
Asosiasi manusia yang didasarkan atas klan ataupun karena adanya kesamaan tujuan ataupun kesamaan tradisi melakukan penyatuan berdasarkan substansi moralitas yang dikandung. Mereka menyadari semua itu sebagai sebuah “collective consciousness”. Durkheim menyebut, kesadaran kolektif itu hanya akan muncul saat mereka mengalami semacam “mental effervescent” dimana semua kepentingan-kepentingan individu menyatu dalam sebuah kolektifitas masyarakat. Disinilah hakikat dari agama sipil itu bisa ditemukan. Ada kepentingan bersama yang menjadi kesepakatan dari tiap-tiap anggota kelompok.
Penulis melihat bahwa dengan model ini, Durkheim hendak menyambungkan format dasar dari agama dengan integrasi. Jadi bukan lantas agama yang menghasilkan masyarakat yang terintegrasi, tetapi lebih pada bahwa fenomena tersebut memiliki kualitas keberimanan. Sekumpulan orang pada taraf tertentu yang membentuk sebuah masyarakat, ia secara otomatis akan melahirkan sebuah agama yang dipeluk secara publik. Dan karena keunikannya itulah, dengan mengikuti cara berpikir Durkheim, maka tidak ada masyarakat tanpa agama.
Wacana ini kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh Bellah. Dalam Beyond Belief, Bellah mengintrodusir gagasan tentang agama sipil di Amerika. Bellah mengatakan di Amerika ada sebuah agama sipil yang tertata dan terlembagakan dengan baik, yang berjalan dengan, namun juga secaa jelas dapat dipisahkan dan dibedakan dari Kekristenan.
Bellah sendiri memahami bahwa hal itu bukanlah dimaksudkan sebagai national self-worship, tetapi sebagai bentuk ketundukan bangsa Amerika pada prinsip-prinsip etika yang melampauinya dan dari sudut mana hal itu harus dinilai. Agama sipil itu sendiri, sejauh pembacaan penulis terhadap pemikiran Bellah, sebenarnya justru muncul dari pelbagai ekspresi keberagamaan formal. Semangat keberagamaan itulah yang merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai agama sipil.
Kala menelaah tentang ekspresi dari agama sipil Amerika, bellah menemukan fenomena yang unik dalam pidato-pidato Presiden Amerika saat diangkat menjadi kepala negara. Bellah menarasikan pidato pengangkatan John F.Kennedy saat menjadi presiden Amerika tahun 1961. Kennedy mengucapkan tiga kali kata ”Tuhan”. Pertama ia mengatakan, ”...karena saya telah menyatakan sumpah di hadapan Anda sekalian dan Tuhan Yang Maha Kuasa. Kedua, ”...keyakinan bahwa hak-hak manusia tidak datang dari pemberian negara, tetapi dari tangan Tuhan”. Ketiga, ”...karya Tuhan harus benar-benar menjadi karya kita”.
Menurut Bellah kata Tuhan yang diucapkan Kennedy adalah cara yang dibuat untuk memperlihatkan sisa-sisa posisi agama di Amerika dewasa ini. Kennedy, ketika mengucapkan kata Tuhan, tentu tidak mengacu kepada Yesus Kristus atau Musa, atau gereja Kristen. Dan tentu saja ia juga tidak mengacu kepada gereja Katolik. Ia hanya mengacu kepada konsep Tuhan, sesuatu yang bisa diterima oleh hampir semua orang Amerika.
Lalu bagaimana memahami hal tersebut (Tuhan) diekspresikan dalam sebuah negara yang memantapkan posisinya untuk memisahkan antara agama dan negara? Bellah menjawab bahwa pemisahan antara agama dan negara itu tidak mengingkari dimensi keagamaan dalam bidang politik. Meski agama adalah urusan pribadi, tetapi dalam batas-batas tertentu, ada orientasi keagamaan yang dimiliki secara bersama-sama oleh sebuah bangsa. Dimensi dari keyakinan bersama itu diekspresikan dalam seperangkat keyakinan, simbol dan ritus yang oleh Bellah disebut sebagai ”American Civil Religion”.
Tidak hanya di Amerika, fenomena perkembangan agama sipil juga mengemuka di Italia, Meksiko dan Jepang dan mungkin juga model itu ada di Indonesia. Bellah dan Phillip E. Hammond memaparkan hal itu dalam ”Varieties of Civil Religion”.
Menurut Hammond, perkembangan agama sipil di pelbagai negara itu paling tidak dilatari oleh tiga alasan. Pertama, kondisi pluralisme keagamaan tidak memungkinkan bagi salah satu agama untuk digunakan oleh seluruh agama sebagai sumber makna yang bersifat general dan berlaku bagi setiap individu yang berlatar belakang identitas tersebut. Tetapi kedua, masyarakat dihadapkan pada kebutuhan untuk melekatkan sebuah makna dalam aktifitasnya, khususnya ketika aktifitas itu berkaitan dengan individu yang berangkat dari latar belakang keagamaan yang beragam. Karenanya, ketiga, diperlukan sistem makna pengganti dan jika telah ditemukan, aktifitas mereka dapat difasilitasi oleh sistem tersebut, oleh sebab itu kemudian mereka cenderung mengagungkan sistem itu.
Gagasan Agama Sipil yang agak mutakhir dipaparkan Andrew Shank dalam ”Civil Religion”. Dalam buku civil religion, Shank menekankan pada civil theology. Teologi model ini adalah sejenis pemikiran, yang dalam budaya Kristen muncul dari sejarah teologi konfensional Kristen. Menurut Shank, agama sipil menjadi disiplin ilmu yang bertujuan untuk menyembuhkan memori-memori yang terpecah belah sehingga mampu membuka kemungkinan ditempanya ikatan-ikatan solidaritas baru.
Yang menarik dari paparan Shank hemat penulis adalah karena ia mencoba mengaplikasikan konsep ini tidak hanya dalam kategori manusia beragama. Namun, Shank dengan telanjang mengatakan bahwa agama sipil mampu menghasilkan ikatan solidaritas, dimana agama sipil membantu memunculkan sekaligus merayakannya, adalah solidaritas yang melampaui pembedaan antara orang beriman dan tidak beriman, teis dan ateis.
Sebagai inti dari agama sipil, teologi sipil harusnya berbeda dari teologi konfesional dalam hal cara yang digunakan untuk kembali menuju tahap pra teologi. Atau ia adalah hierologi, sebuah studi mengenai kesucian yang benar, yang didalamnya pertanyaan-pertanyaan teologi dibiarkan terkurung. Dengan demikian, pelaku dari perdebatan ini terbuka bagi siapapun bagi semua tradisi agama maupun anti agama. Teologi sipil, menurut Shank, berada pada wilayah tengah antara teologi konfesional dan hierologi sipil.
Yang penting, menurut Shank, dalam membicarakan teologi sipil adalah ketidakharusannya berkonflik dengan teologi konfessional. Akan menjadi konflik jika teologi konfesional mengklaim akses eksklusif menuju kebenaran. Begitu juga jika teologi sipil menuduh iman konfesional akan memproduk orang-orang yang tidak baik. Teologi konfesional tidak harus membuat klaim seperti itu dan tidak harus menghasilkan manusia-manusia jahat.
Sebagai pungkasan ringkasan dari apa yang dikehendaki dari agama sipil ini dirangkum dengan sangat sistematis oleh oleh John A. Coleman dalam “civil religion”. Secara lebih rinci ia menjelaskan deskripsi tentang agama sipil. Karakteristik dari agama sipil itu dijabarkan dalam delapan gambaran. Pertama, agama sipil adalah kumpulan dari ritual dan simbol yang berhubungan dengan peran seseorang sebagai warganegara dan perannya sebagai bagian dari masyarakat serta bagaimana memaknai keduanya pada saat yang bersamaan.
Kedua, agama sipil merupakan representasi dari fungsi agama secara khusus dimana isi dan simbolisasi keagaamaan yang ada didalamnya menjadi tanggung jawab kedua belah fihak yaitu agama dan negara, bukan cuma salah satunya.
Ketiga, Perbedaan sosial Agama Sipil dari agama dan negara adalah Agama Sipil selalu mengikuti garis evolusi kultural sementara agama dan negara tidak demikian.
Keempat, pada kondisi yang tidak bisa membentuk Agama Sipil menjadi begitu berbeda dengan yang lainnya (undifferentiated), maka fungsi Agama Sipil dibentuk oleh institusi keagamaan dan atau oleh negara.
Kelima, selanjutnya pada situasi diatas Agama Sipil pada saat yang bersamaan dapat memberikan kebebasan dan keleluasaan bagi baik agama maupun negara.
Keenam, secara definitif agama sipil merupakan sebuah sistem keagamaan yang didapat untuk membentuk integrasi sosial di masyarakat luas. Sebagaimana oleh Durkheim disebut sabagai identitas dan solidaritas nasional dari agama.
Ketujuh, pada saat agama (organized religion) dan agama sipil memiliki fungsi yang berbeda dalam berintegrasi dengan masyarakat maka kemudian timbul pertanyaan apakah agama benar-benar bisa berintegrasi dengan masyarkat atau malah menjadi sebuah lembaga yang terpisah? jawabannya adalah terletak pada bagaimana bentuk hubungan antara agama itu sendiri dan agama sipil.
Kedelapan, perbedaan antara agama sipil dari institusi keagamaan dan negara semestinya tidak membuat negara bersikap oposisi terhadap institusi keagamaan. Sehingga institusi keagamaan dapat secara bebas menjalankan fungsi profetiknya. Adapun hubungan antara civil society dalam hal ini negara dan organized religion dapat sangat berkembang secara harmonis apabila tidak ada saling monopoli diantara keduanya melainkan saling bekerjasama dan menerima kondisi spesifik masing-masing dalam rangka mengembangkan simbol-simbol keagamaan sipil dan memperjelas peran dan makna eksistensi seseorang sebagai warga negara dan sekaligus sebagai warga yang beragama.

V. Pancasila dan Agama Sipil: Sebuah Kesimpulan
Penulis mencoba mencari benang merah dengan mengaitkan fenomena agama sipil ini dalam konteks keindonesiaan. Ada yang menyebut bahwa Pancasila itu adalah agama sipil. Jadi pancasila itu tidak merupakan agama baru atau super agama. Pancasila itu hanyalah merupakan cerminan dari nilai religiusitas yang menyatukan semua manusia dari berbagai latar belakang agama. Itu yang pertama.
Kedua, alinea ketiga dalam Pembukaan UUD 45 adalah sebentuk ekspresi dari agama sipil dalam konteks ketuhanan. Tuhan tidak digambarkan sebagai Allah Swt, Allah Tritunggal, Yahweh atau lainnya. Ia dinarasikan dalam nama ”Tuhan”. Konstitusi kita tidak mengacu kepada agama khusus apapun, meski Islam adalah mayoritas. Konsep Tuhan, sekali lagi pada akhirnya adalah sesuatu yang dapat diterima oleh semua agama.
Meski Indonesia tidak didasarkan atas agama, tetapi pemisahan antara agama dan negara itu tidak mengingkari dimensi keagamaan dalam bidang politik. Meski agama adalah urusan pribadi, tetapi dalam batas-batas tertentu, ada orientasi keagamaan yang dimiliki secara bersama-sama oleh bangsa Indonesia.
Pilihan kata Tuhan, penulis menganggap sebagai salah satu dimensi keagamaan publik yang diekspresikan dan bolehlah disebut sebagai simbol agama sipil Indonesia. Dan dengan demikian, Pancasila dan UUD 45 adalah konstitusi demokratis yang memberikan peluang kepada semua agama untuk menerimanya sebagai agama sipil. Karena, sepintas kilas ia menghadirkan klaim-klaim agama publik, bukan agama konfesional.

DAFTAR PUSTAKA

Bellah, Robert N. dan Phillip E.Hammond, Varieties of Civil Religion, San Fransisco: Harper & Row, 1980.

Bellah, Robert N., Beyond Belief: Essay on Religion in a Post-Traditional World, terj. Jakarta: Paramadina, 2000.

Cobb, John B., Jr., Process Theology as Political Theology, Manchester¬Philadelphia: Manchester University Press-Westminster Press, 1982.

Coleman, John A, “Civil Religion” dalam Sociological Analysis, 31. Summer 1970.

Durkheim, Emile, The Elementary Forms of Religious Life, New York: Free Press, 1995.

Gamwell, Franklin I., The Meaning of Religious Freedom: Modern Politics and The Democratic Resolution, State University of New York Press, 1995.

Kauper, Paul G., “Legal Aspect of Religious Liberty” dalam George W. Forell et.al., Religious Liberty, New York: Board of Social Ministry Lutheran Church in America, 1968.

Kholiludin, Tedi, “Manusia Tanpa Agama,” Wawasan, 8 Maret 2008.

Koshy, Ninan, Religious Freedom in a Changing World, Geneva: WCC Publications, 1992.

Microsoft ® Encarta ® 2008. © 1993-2007 Microsoft Corporation. All rights reserved.

Naipospos, Bonar Tigor, (ed), Tunduk Pada Penghakiman Massa: Pembenaran Negara atas Persekusi terhadap Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Jakarta: Setara Institute, 2007.

Novak, Michael, “Religion and Liberty: From Vision to Politics” Christian Century, July 6-13, 1988.

Partsch, Karl Josef, “Kebebasan Beragama, Berekspresi dan Kebebasan Berpolitik”, dalam Ifdhal Kasim (ed), Hak Sipil dan Politik: Esai-esai Pilihan, Jakarta: ELSAM, 2001.

Rousseau, Jean-Jacque, On Social Contract, terj. G.D.H.Cole, New York: Dover Publications.

Shank, Andrew, Civil Religion, terj. Yogyakarta: Jalasutra, 2003.

Titaley, John A., “Asian Models of Religious Diversity: The Uniqueness of Indonesian Religiosity,” ed. Alef Theria Wasim et.al., Religious Harmony: Problems, Practice and Education, Yogyakarta: Oasis Publisher, 2005.

_____________, “Negara, Agama-agama dan Hak Asasi Manusia: Mengkaji Ulang Eksklusivisme Agama”, Makalah Disampaikan sebagai studi tematik dalam Sidang Raya XIV Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) di Wisma Kinasih Caringin Bogor tanggal 1 Desember 2004.

Wogaman, Philip, Christian Perspectives on Politics, Kentucky: Westminster John Knox Press, 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar